Hari ini sudah pukul empat pagi. Kita semua bangun sepagi ini untuk berangkat mendaki ke gunung karena, kalau tidak kita akan kehilangan indahnya melihat sunrise.
Sejak tadi aku tidak melihat Amel. Mungkin bangunku kesiangan jadi dia sudah pergi lebih dulu. Di perjalanan aku hanya bersama beberapa siswa yang tidak terlalu ku kenal karena mereka berbeda kelas dengan ku.
Aku berjalan sambil menikmati keindahan alam Gunung Bromo ini. Dan menghirup udara pegunungan yang sejuk. Serta hawa dingin yang menembus sweater maroon ku hingga aku sedikit merasa kedinginan.
Tak terasa ternyata aku sudah ketinggalan rombongan karena aku terlalu asik menikmati keindahan alam Gunung Bromo. Tapi, ternyata aku tidak benar-benar sendiri, saat aku memandang lurus ke depan ada seorang cowok berbadan tinggi semampai dan menggunakan sweater hitam dengan motif gambar berwarna putih di tengahnya.
Tapi, ku rasa cowok yang berada sekitar 3 langkah dariku itu sedang mabuk atau sakit. Karena, dia jalan sempoyongan seperti tak bertenaga untuk berjalan. Tiba-tiba...
Dia terjatuh! Lututnya mengenai batu yang ada dipinggir jalan. Ya Tuhan! Aku langsung berlari menghampirinya.
"Eh eh.. Kamu kenapa? Kamu gak papa?" sambil membantunya untuk berdiri.
Astaga! Ternyata aku kenal cowok ini. Aku terkejut saat dia mendongak memandangku. Aku hampir saja membuat dia terjatuh lagi. Untungnya aku masih bisa menahan rasa terkejut ku dan langsung menuntun dia ke tepi jalan.
"Gino! Ternyata ini kamu? Kamu kenapa? Kamu sakit? Lutut mu berdarah Gino!" sambil aku memegang lutut nya dan langsung mengeluarkan kotak obat dari ransel ku.
"Lepasin! Buat apa sih lo bantuin gue! Udah sana, gue bisa sendiri" sambil menanpis kotak obat yang baru aku keluarkan.
"Gin, udah kamu diem aja. Aku obatin dulu lutut kamu." sambil membersihkan lutut Gino dengan kapas yang ku basahi obat merah.
"Gak usah! Gue bilang gak usah!" Gino menepis tangan ku dari lututnya. Dia mencoba berdiri. Tapi aku menahanya.
"Gino, kamu jangan berdiri dulu. Badanmu meriang. Luka mu juga belum bersih. Kamu di sini saja tak usah melanjutkan perjalanan ke puncak gunung."
"Gue bilang pergi. Gak usah sok peduli sama gue. Gue gak butuh kepedulian lo!" Gino tetap memaksa berdiri. Dan dia langsung berbalik badan dan mencoba berjalan meninggalkan ku.
Ya Tuhan. Sebenarnya seberapa besar salahku terhadap Gino sampai-sampai Gino bersikap seperti itu terhadapku. Apa aku salah kalau aku masih menyayanginya? Apa aku salah kalau aku masih peduli denganya? Apa sebenarnya salah ku Ya Tuhan.
Apapun akan ku lakukan agar Gino mau memaafkan ku. Tapi, sekarang aku benar-benar tidak kuat melihat dia berjalan menahan sakit seperti itu! Air mataku tak terhankan lagi!
Aku berlari mengahapiri Gino. Dengan pipi yang basah karena air mataku yang mengalir. Aku memaksa Gino untuk berhenti berjalan. Aku menuntun dia ke tepi jalan lagi.
Gino tetap tak mau. Gino berusaha melepaskan dirinya dan terus berjalan. Dia meminta ku untuk pergi. Tapi, aku sama sekali tak peduli dengan semua itu.
"Pergi Ninda! Pergi! Gue masih bisa jalan!" sambil mencoba melepaskan tubuhnya dari tangan ku.
"Gino kamu diam! Kamu harus tetep di sini sama aku. Aku akan mengobati luka mu dulu. Aku gak peduli kamu mau membenci ku, mendorongku ke jurang atau apapun. Aku gak mau melihat mu menahan sakit seperti ini! Aku gak mau kamu kenapa-kenapa Gino! Tolong..tolong turuti kata-kata ku. Duduk lah disini biarkan aku mengobati luka mu. Aku mohon Gino." ucapku sembari menatapnya dengan mata ku yang terus berurai air mata. Aku tak peduli lagi bagaimana sikap Gino terhadap ku selama ini. Sekarang aku hanya ingin mengobati lukanya sampai dia sembuh.
Gino, hanya terdiam saat aku menatapnya dan mengeluarkan semua keluh-kesah yang ada di hatiku. Lalu dia menyerah, dan dia mau mengikuti kata-kataku untuk berhenti berjalan dan duduk untuk istirahat sebentar di tepi jalan.
"Aku minta maaf sudah memaksamu seperti ini. Tapi, setelah ini terserah kamu mau tambah membenci ku, tambah menjauhi ku, aku gak peduli! Aku hanya gak ingin melihat kamu seperti ini. Itu saja cukup." ucapku masih bersamaan dengan air mata yang berusaha ku hapus dari pipiku.
Gino hanya terdiam, menatapku penuh tanda tanya.
"Sudah, luka mu sudah ku tutup dengan perban. Sekarang terserah kamu. Kalau kamu sudah kuat meneruskan perjalanan ke puncak gunung, tidak papa. Kalau tidak, aku akan menemanimu di sini"
Aku duduk terdiam di samping Gino. Dan Gino juga hanya terdiam. Dia juga sama sekali tidak beranjak dari tempatnya. Sesaat kita berdua terdiam cukup lama. Gino memecah kesunyian ini. Dan dia memulai percakapan yang lumayan serius denganku.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
I Won't Stop It, Amore
Fiksi Remaja"Teriaklah. Keluarkan semua yang kau simpan dalam diam selama ini. Hati dan mulutmu sudah tak mampu menyimpanya lagi, terlalu lama. Terlalu dalam dan sakit." Aku tidak akan memaksamu lagi, tapi tolong jangan paksa aku untuk menghentikan semua ini...