Reon [2]

13.1K 1.5K 40
                                        

Jogja siang ini begitu terik, kutelusuri jalan Simanjuntak menuju Galeria Mall. Tempatku bekerja part time. Sudah seminggu aku pindah di sini, sebelumnya aku part time di Starbucks Amplaz. Saat mendapat tawaran rolling aku pun menyetujuinya. Starbucks Amplaz memberiku banyak kenangan yang kini kurindukan. Rindu yang sebelumnya aku harapkan tapi kini tak tersalurkan. Maka kesempatan pindah tak kusia-siakan.

Aku tak berani meleburkan rindu ini mengingat betapa aku telah menyakitinya. Dan dia seolah menghilang dari zonaku begitu saja seperti keinginanku setelah telponnya terakhir kali.

Aku mendengar Sam -partner kerjaku menyapa seseorang. Tatapanku seketika terkunci melihat siapa yang Sam sapa. Latte, cewek yang sudah hampir tiga bulan tak aku lihat. Penampilannya sedikit berubah, rambutnya kini tak lagi panjang, hanya sebahu dan itu membuatnya semakin terlihat lebih muda. Seperti anak SMA.

Caranya tersenyum saat berbicara pada Sam mencuri detak jantungku sekali lagi. Aku benar-benar merindukannya. Rindu ternyata sudah menyiksaku perlahan.

Kini dia di hadapanku tanpa binar ceria seperti dulu. Cengiran khasnya tak terlihat lagi seperti dulu setiap kali berhadapan denganku. Dia memesan minuman tanpa mau melihat ke arahku. Mendadak hatiku terasa kosong dan dingin.

"Es teh."

Hanya itu kata yang dia ucapkan. Tapi aku tak merasa kaget dengan dia yang memesan es teh di kedai kopi.

"Es teh dengan gula setengah?" tanyaku setenang mungkin walau dadaku jelas berdebar tak menentu.

Aku hapal semua tentangnya. Tentang minuman kesukaannya yang selalu dia pesan. Cappucino dengan sirup hazelnut atau es teh dengan gula 50 persen. Ya, dia selalu menyebut menu minuman black tea dengan sebutan es teh seperti memesan di warung angkring. Lucu tapi itulah dia. Dan Latte tak terlalu menyukai manis. Mungkin karena dia sudah terlalu manis.

Kutulis namanya dengan nama Rindu dan kalimat Miss U Latte. Saat dia menyadari minumannya jadi, dia mengambil minumannya begitu saja tanpa mau melihatku lagi. Semoga dia membaca pesan singkat kerinduanku di gelasnya.

Menunggu, hal yang menjemukan tapi hati sangat berharap. Hingga closing tak ada tanda-tanda Latte menghubungiku atau menungguku seperti dulu. Bahuku melorot, kecewa ternyata Latte telah pergi. Tak ada lagi suara gerutuannya saat aku tak juga pulang padahal kedai sudah tutup. Kupandangi meja yang tadi dipakai Latte bersama teman-temannya duduk. Punggung mungil itu sudah hilang. Sepertinya pesan rinduku tak berbalas.

"Hei, ngapain bengong. Pulang."

"Iya."

"Kamu kenapa, huh?" tanya Sam.

"Apa Latte sudah punya pacar baru?"

"Hah? Latte? Kamu kenal Latte? Aku sih nggak tahu soal dia, nanti coba kutanyain Rhane. Emang kenapa? Naksir?"

"Ah, ingin tahu aja."

"Kayaknya dia jomblo deh. Belum pernah lihat dia ke sini sama cowok sih. Nanti deh kumintain nomornya buat kamu."

"Nggak usah. Aku udah punya. Ayo pulang."

"Jadi bener kamu naksir dia? Wah tipemu yang mungil-mungil. Tapi manis sih dia, sayang aja hatiku udah naksir temennya."

Ocehan Sam aku abaikan. Jogja malam ini jadi terasa sepi walau jalanan masih cukup ramai. Daerah Sagan masih banyak kendaraan yang lewat. Kuputari bunderan UGM hanya untuk menyamarkan bayangan Latte di kepalaku. Tapi nihil. Sampai rumah pikiranku masih tetap Latte. Bolehkah kukirim pesan untuknya?

Aku, Kopi, dan KameraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang