Reon [6]

8.8K 1.2K 102
                                    

Aku masih di sini dengan badan yang tak memiliki tenaga. Entah bagaimana aku bisa sakit tipus. Padahal aku hidup sehat dan tak pernah makan sembarangan. Tapi penyakit itu menyerangku hingga aku hanya bisa terkapar di atas tempat tidur beberapa hari ini. Seperti mayat hidup yang kehilangan semangat. Yang biasanya menyemangatiku sudah pergi.

Jika dulu aku hanya sakit pusing saja Latte sudah ribut sendiri di sampingku dengan segala hal yang dia lakukan dari memberiku obat sampai menceramahiku panjang lebar. Kali ini aku sendirian di dalam kamar. Sakit badan dan sakit menyesali kebodohan.

Perkataan Sam saat menjengukku semakin membuatku tak bersemangat. Dia mengatakan bahwa Latte ngopi bersama cowok. Dan dari ciri-ciri yang Sam katakan aku yakin cowok itu adalah cowok yang sama saat aku mengikuti Latte.

Keyakinanku untuk mendapatkan hati Latte semakin menipis. Apakah kesalahanku tak termaafkan? Aku tahu aku salah, hanya saja saat itu aku benar-benar merasa jenuh dengan semuanya. Aku kehilangan rasa ketakutan tanpa Latte. Tapi kini aku benar-benar merasakan kehilangan dan nyaris tak punya kesempatan lagi.

"Mas, kamu gimana udah enakan?"

"Lumayan, Bu."

"Ibu kok nggak pernah lihat Latte ke sini lagi, to? Biasanya dia hampir tiap hari ke rumah. Masa mudik lama banget. Bukannya anak kuliah udah pada masuk lagi?"

"Latte kan tinggal skripsi, Bu. Jadi masih betah di rumahnya."

"Kamu nggak lagi bohongi Ibu, kan?"

"Enggak lah, Bu. Kalau Latte di Jogja pasti langsung ke sini."

"Iya sih. Itu anak kan cinta banget sama kamu. Masa tiap dateng selalu nanya Ibu, apa Ibu suka dia apa nggak. Terus bilang kalau dia sayang banget sama kamu jadi Ibu harus ngerestuin. Lucu kalau inget kelakuan dia. Kamu apakan itu Latte bisa terkintil-kintil gitu?"

Aku hanya bisa tersenyum miris mendengar penuturan Ibu. Ya, Latte memang lucu. Ternyata apa yang dulu terlihat menyebalkan kini terasa lucu dan kurindukan.

"Tapi Ibu suka sama Latte kan?"

"Ya suka lah. Walaupun blak-blakan tapi Ibu tahu dia cewek yang nggak macam-macam. Cuma ya kadang Ibu heran, dia kayak nggak ada kerjaan. Ada aja waktu buat ke rumah walaupun kamu nggak ada."

Seketika dadaku nyeri. Aku sudah kehilangan pelangiku. Awalnya tak ada Latte di sisiku lagi terasa nyaman, aku punya waktu sendiri tanpa harus terus merasa khawatir tentangnya. Memang tak ada lagi ejekan dari teman-teman yang mengatakan diriku memiliki bodyguard. Dulu setiap saat Latte selalu ada di dekatku hingga teman-temanku sungkan saat ingin mengajakku main. Tapi makin ke sini, kenyamanan itu berganti jadi rasa kosong saat Latte benar-benar menjauh.

"Mas, kok malah ngelamun."

"Siapa yang ngelamun, Bu?"

"Lagi kangen ya? Hmm... Biasanya aja ada Latte kamu malah sibuk sendiri. Sekarang kangen. Apa sakit gara-gara kangen?"

"Mungkin Bu, kangen banget."

"Dasar anak muda. Ya udah cepet makan terus minum obatnya."

"Iya, Bu. Makasih."

Kuraih ponsel yang berada di samping bantal. Aku sungguh merindukan Latte. Kuhubungi dia berkali-kali dan aku tak menyerah begitu saja walaupun tak ada jawaban. Hingga suara sapaannya kudengar lagi.

"Latte..."

"Ada apa?"

"Aku ganggu?"

"Ya, aku lagi di luar sama temenku."

Aku, Kopi, dan KameraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang