Pahat

89 4 0
                                    

Pahat itu bergerak seirama mengikuti gerak tangan Purna. Beberapa lempengan besi serupa dengan berbagai ukuran tergeletak tak jauh dari jangkauannya. Duduk bersila ditemani dengan kopi hitam yang hanya mengisi setengah bagian gelas adalah kegiatan utamanya setiap hari. Seperti tidak ingin hasil pekerjaannya cacat, tatapan Purna tajam mengarah pada batangan kayu yang telah siap diukir.

"Yang ini mau dibuat apa, Bli?" Ritha memasang wajah antusias sekaligus kagum mengamati tumpukan kayu berbentuk jendela kecil yang telah selesai diukir. Ornamen bunga teratai dengan detail yang indah berhasil membuatnya ingin tahu lebih banyak tentang kerajinan ukir penduduk desa.

"Untuk sanggah," sahutnya singkat. Purna belum mengangkat wajah. Antara fokus pada pekerjaan, atau masih enggan berbicang dengan Ritha dan Agra. Pemuda ini begitu sulit diajak bergaul. Dia seperti memiliki dunia sendiri. Ritha dan Agra tidak bisa dengan mudah masuk ke dalamnya.

Ritha menoleh Agra, memberikan isyarat untuk memulai percakapan dengan Purna. Ritha pikir, mungkin Purna akan merasa lebih nyaman berkomunikasi dengan Agra.

Agra menelan ludah, kemudian membenahi posisi duduk. Dia tidak tahu harus berkata apa mengingat Purna seperti tidak suka dengan kunjungan mereka. Jika tidak ditanya, dia akan diam, terus bergelut dengan pekerjaannya. Kalaupun ada yang ditanyakan, dia pasti hanya akan menjawab dengan singkat.

"Ngukirnya setiap hari ya, Bli?"

Purna lagi-lagi hanya merespon dengan anggukan kepala kemudian mengganti pahat dengan ukuran yang lebih kecil.

Beberapa kali, Agra dan Rieta saling pandang. Mereka masih berusaha menemukan cara yang tepat untuk menciptakan atmosfer yang bersahabat dalam perbincangan tersebut.

***

Kikan merentangkan kedua tangan, menikmati hawa sejuk yang jarang dirasakannya di kota. Diantara yang lain, dia adalah yang paling cepat memutuskan untuk turun ke sawah.

Dengan mata terpejam, ia bisa merasakan sentuhan lembut angin melalui celah jemarinya. Rambut lurus sebahunya yang dibiarkan terurai, bebas terbang mengikuti tiupan angin. Hamparan pagi yang menguning adalah salah satu tempat yang selalu ingin ia kunjungi. Karena ini, dia bisa menyimpulkan akan begitu betah berada di lokasi KKN.

Kikan memutar badan, melambai pada Sandy, Mia dan Helma yang masih berdiri di pinggir jalan. Sejak tadi, mereka hanya memperhatikan tingkah teman baru mereka.

Mia dan Sandy lalu bertukar pandang. Mereka memiliki pikiran yang sama. Tidak ada alasan untuk tetap diam memantung. Mereka tergoda untuk menyusul Kikan, berjalan di pematang sawah sembari mendengar gemericik air di sekitarnya.

"Ikut turun, Ma?" ajak Mia.

Helma mengarahkan jari telunjuk ke wajah. "Aku? Turun ke sawah?" Sejenak, Helma menunduk, memperhatikan wedges lima sentimeternya. Celana jins panjang orange yang meruncing di bagian ujung itu juga menjadi salah satu pertimbangan.

"No! Aku nggak mau turun!"

Mia mengangkat bahu dan alis bersamaan. Setidaknya dia sudah bermaksud baik dengan menawarkan kepada Helma untuk ikut.

Sandy sudah turun lebih dulu. Ia mengarahkan kamera pocket ke arah Kikan yang bergaya layaknya model majalah remaja.

Kikan memiringkan tubuh. Tangan kiri memegang pinggang, sementara jari tangan kanan menempel pada dahi. Mia berteriak, meminta Sandy menahan telunjuknya untuk menekan shutter.

"Aku ikut!" seru Mia. Dia melompat, kemudian berlari kecil agar segera sampai di tempat Sandy dan Kikan. Kedua tangannya diangkat sejajar, berusaha menjaga keseimbangan tubuh.

Sayap MimpiWhere stories live. Discover now