Pengakuan Lain

65 3 0
                                    

Pukul 01.03 WITA.

Helma masih belum tidur. Dipeluknya boneka lumba-lumbanya dengan erat. Dia sempat memilliki niat untuk membuat boneka itu, tapi sayang, dia tidak dapat melakukannya saat ini.

Jimmy seorang kakak yang baik. Jika dia memposisikan diri sebagai adik Jimmy, seharusnya boneka ini bisa menjadi kado yang istimewa.

"Aku kira cuma aku yang nggak bisa tidur," Ritha duduk di sebelah Helma. Selimut tebal membungkus tubuhnya. Helma hanya mengulum senyum.

"Kamu nggak marah ke aku?" Meskipun ragu, Ritha memutuskan untuk menanyakan ini langsung pada Helma. Bagaimana pun, dia sudah tahu sejak lama tentang hubungan Jimmy dan Sheila. Helma mungkin akan sangat marah padanya karena ikut menutupi semua ini.

"Marah untuk apa?"

"Aku sudah menyembunyikan hubungan mereka dari kamu," kata Ritha pelan. Dia benar-benar takut jika sampai menambah luka Helma.

"Nggak cuma kamu yang nyembunyiin semua. Aku juga."

"Maksudmu?"

"Aku juga udah tau sejak lama."

Ritha terkesiap, memandang Helma tidak percaya. Sementara pandangan Helma menerawang jauh, kembali kepada masa yang telah berlalu.

"Aku nggak sengaja baca SMS dari Sheila. Mungkin pas itu Jimmy lupa ngapusnya."

"Kamu nggak pernah nanya tentang hal ini ke Jimmy?"

Helma menggeleng. "Untuk apa? Mempersingkat waktuku buat bareng sama dia?"

Giliran Ritha yang dibuat tidak dapat berkata. Helma menekuk kaki di atas kursi. Dagunya menekan bonekanya sehingga menempel pada lutut. Saat ini, dia sendiri tidak dapat memastikan seperti apa perasaannya. Dia sudah lelah menangis. Tapi rasa sakit itu masih belum bisa dijauhkannya. Pikirnya, mungkin sudah saatnya berhenti berpura-pura. Di lain sisi, dia teringat apa yang dikatakan Sandy tadi sore. Ada perasaan lega yang menyelinap. Bebannya seperti berkurang.

"Mungkin lebih baik tidak berpura-pura lagi. Selama ini aku bersikap seolah aku nggak tau apa-apa. Aku pikir itu bisa membuat semuanya membaik. Tapi aku salah. Menyimpan semua sendiri rasanya nggak menyenangkan."

Ritha membuang pandangannya jauh ke langit malam. Lagi-lagi, mendung. Hanya bulan yang nampak. Sesekali awan tipis bergerak, menutup bagian wajah rembulan. Dia tahu, tidak mudah berada di posisi Helma.

"Kamu masih ingat, kenapa akhirnya aku begitu ingin menjadi seorang guru?"

Helma mengangkat wajah, menoleh Ritha. Beberapa waktu yang lalu, cerita Ritha tersebut berhasil menggugah hatinya. Dan kini, ia merasa sedikit aneh saat Ritha tiba-tiba membahas tentang hal itu.

"Kamu ingin bisa melakukan sesuatu untuk anak-anak itu? Kamu ingin membagi apa yang kamu punya?"

Ritha tersenyum samar. Bayang Bagas kembali muncul. Lelaki yang membuatnya kesal sekaligus merindu. "Bukan hanya itu. Sebenarnya, ini karena seseorang yang sangat aku cintai."

Helma membenahi posisi duduk. Dia memandang Ritha tidak percaya. "Orang yang kamu cintai? Selama ini aku pikir kamu nggak pernah sibuk tentang hal-hal kayak gini. Aku pikir, kamu hanya bisa jatuh cinta sama murid-muridmu."

"Bagas." Ritha menahan suara. Begitu menyebut nama itu, dia merasakan gumpalan rindu yang menyesak. Dia ingat setiap kenangan yang pernah dialaminya bersama Bagas, bagaimana anak laki-laki seusianya itu bisa menjadi seorang teman, musuh, kakak, sekaligus seorang ayah baginya. "Dia temanku di panti asuhan. Kami selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik. Dia pernah bilang kalau dia ingin jadi seorang dokter. Dan sejak saat itu, aku memikirkan profesi yang lebih hebat dari seorang dokter."

Sayap MimpiWhere stories live. Discover now