"Hai, Sayang."
"Lama banget angkat telepon," gerutu Helma begitu suara Jimmy terdengar. Ia duduk sendirian bersama dengan bonekanya di teras rumah, sementara rekan-rekannya yang lain sudah beristirahat di kamar.
"Sorry. Tadi habis ngobrol sama papa. HP ketinggalan di kamar."
"Permintaan maaf diterima asal janji bakalan segera ke desa."
"Jadi syarat dan ketentuannya berlaku?"
Meskipun tidak bisa dilihat langsung oleh Jimmy, Helma tersenyum lebar. Salah Jimmy karena membuatnya menunggu beberapa menit sebelum panggilannya tersambung.
"Kalau kamu nggak mau ya udah, aku mau tidur aja," ancamnya.
"Eh, yang bilang nggak mau siapa?"
"Habis kamu mikir buat jawabnya lama banget." Helma kembali menyalahkan Jimmy.
"Sorry lagi deh. Hari ini gimana, Sayang?"
Jimmy akhirnya mengakhiri basa-basi. Pertanyaan itu juga yang tengah dinantikan Helma. Dia ingin menceritakan kelasnya bersama dengan Ritha tadi pagi.
"Hmmm..., hari ini aku masuk kelas sama karyawanmu."
"Oya? Trus gimana?" Jimmy antusias.
"Aku cuma nontonin aja sih," balas Helma cepat. Beberapa saat dia kemudian berpikir bahwa sebutan penonton tidak terlalu keren. "Eh, bukan penonton, Yang. Lebih tepatnya aku pengawasnya."
Tawa renyah Jimmy terdengar. "Iya deh, Bu Pengawas."
Helma diam beberapa saat sebelum melanjutkan obrolan mereka. Ia kembali teringat akan wajah-wajah polos yang membuatnya ingin masuk ke kelas lagi. "Yang, kalau besok aku mau jadi pengawas lagi, gimana?"
"Ya nggak gimana-gimana. Malah bagus, kan. Perjuanganmu buat tinggal di desa nggak sia-sia," terang Jimmy.
"Yang, kamu punya mimpi, nggak?" Helma bertanya. Pelan. Seperti ragu, tapi tidak bisa menahan rasa penasarannya lebih lama.
"Kamu bukannya udah sering denger?"
"Ah..., ya, mimpimu bisa buka cabang bimbel di kota lain." Helma mengangkat menempelkan dagu di atas lutut, kata-kata Jimmy sejak bertahun-tahun lalu, yang selalu ia ulang, terlintas lagi di pendengarannya. Jimmy serius dengan pekerjaannya bukan semata-mata karena materi. Bimbel yang ia kelola saat ini adalah salah satu mimpinya.
"Kenapa kamu nanya lagi?"
"Aku baru sadar kalau ternyata cuma aku yang nggak punya mimpi," suara Helma melemah. Ia menyesal karena baru mendapati kenyataannya sekarang. Mungkin Ritha benar. Tidak ada kata terlambat untuk bermimpi, tapi tetap saja dia menyayangkan sekian tahun waktunya yang terbuang.
"Siapa bilang kamu nggak punya mimpi? Bukannya kamu pengen jadi putri?"
"Itu bukan mimpi."
"It is, Sayang. Kamu selalu bilang gitu sejak kecil. Dan liat, sekarang kamu bener-bener kayak putri. Cantik. Iya, nggak?" Tanpa menunggu jawaban Helam, dia kembali menyambung kalimatnya. "Kadang kita nggak sadar, tapi selalu ada keinginan yang ingin kamu capai di balik apa yang kamu lakuin."
Helma tertegun, mendalami tiap kata Jimmy. Udara di desa dingin. Saat ini tidak ada benda penerang yang terlihat di langit. Mendung. Sepertinya hujan akan segera tidur. Namun, hati Helma menjadi hangat setelah mendengar apa yang diucapkan Jimmy. "Well said. Ternyata aku juga punya."
"You do, Darl. Lagian belum telat juga kalau kamu mulai mikirin mimpi yang lain."
"Ritha juga bilang gitu."
"Tuh, kan. Aku bakalan tidur nyenyak habis ini."
Helma tidak memberi tanggapan, hanya tersenyum.
"Nanti kamu juga bisa ngawas di bimbel juga habia KKN," tambah Jimmy.
Raut wajah Helma mendadak berubah. Ia menyadari sesuatu. HP masih menempel di telinganya, namun ia merasa Jimmy semakin jauh. Suara rintik hujan yang jatuh meninpa atap rumah terdengar semakin jelas. Helma membisu.
"Yang? Halo?"
Helma kembali menatap langit. Angannya tertuju pada hal lain. Ada yang ingin ditanyakannya pada Jimmy, tapi saat ini ia belum punya cukup keberanian. "Hujan, Yang."
"Oh..., kamu tidur dulu sana. Istirahat ya. Aku telpon kamu lagi besok. Aku sayang kamu."
Aku sayang kamu?
Dada Helma sesak.
YOU ARE READING
Sayap Mimpi
Romance"Dreams are conceived long before they are achieved. The period of time between the birth of a dream and its realization is always a process." (John C. Maxwell) "Aku pernah mendengarmu mengutarakan mimpi. Bertahun-tahun yang lalu. Sekali. Hanya seka...