Langkah Ritha tertahan.
Setelah bertahun-tahun, dia merasakan jantungnya kembali berdegub kencang. Sudah lama sekali tidak pernah dirasakannya yang seperti ini. Terlalu lama, sampai-sampai Ritha lupa sejak kapan sebenarnya ia telah jatuh cinta.
Dalam waktu yang bersamaan, semua sistem dalam tubuhnya membeku. Tidak ada yang dapat dilakukannya. Ritha mematung. Tidak dapat bergerak.
Dalam hatinya, tumbuh sebuah penyesalan. Kenapa baru sekarang dia mengalami ini? Saat dia mungkin saja tidak dapat bersama dengan orang itu karena keputusan yang telah diambil. Dia tidak mungkin merubah pikirannya begitu saja. Dia tidak mungkin mengabaikan kerinduannya itu membagi apa yang telah dimilikinya kepada anak-anak yang akan menjadi siswanya.
Sementara itu, seseorang yang ada di hadapannya seperti menunjukkan eskpresi serupa. Hanya dadanya yang terlihat naik turun, napasnya memburu. Ada perasaan lega, meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada kekhawatiran yang mengusik. Dia ingin mendekat, tapi sulit baginya untuk menggerakkan kaki.
Bayang-bayang masa lalu kembali menghampiri kedua orang itu. Diam yang tercipta justru membawa mereka kembali pada titik waktu dimana keduanya sempat menghabiskan waktu bersama.
Helma. Ini pasti karena Helma.
Tidak salah lagi, ini pasti ulah Helma. Siapa lagi yang bisa membawa Bagas jika bukan dia? Jujur, sesungguhnya Ritha tidak tahu bagaimana harus bersikap. Di satu sisi, ia bahagia. Setelah hampir sepuluh tahun, ia akhirnya bertemu dengan Bagas. Tapi di sisi lain, dia justru menjadi salah tingkah.
Dia selalu pusing menentukan sikap setiap kali harus berhadapan dengan pria ini. Bagas yang berdiri di hadapannya terlihat jauh berbeda dengan yang sering dijumpainya ketika masih kecil. Warna kulitnya lebih terang, sebuah lesung di pipi kirinya tidak lagi terlihat jelas karena tubuh yang lebih berisi. Sebuah kacamata dengan bingkai hitam menghiasi wajahnya. Secara fisik, dia memang banyak berubah, tapi semua itu tidak mengubah perasaan Ritha.
Break the silent, please! Come on, Dear!
Tidak henti-hentinya Ritha memberikan semangat pada dirinya sendiri untuk memecah keheningan. Ada banyak hal yang ingin disampaikannya pada Bagas, termasuk tentang perasaan yang ia pendam. Tapi kenapa justru lidahnya kelu?
"Hai, apa kabar?"
Ritha mendekap mulutnya saat secara tidak sengaja dia dan Bagas menanyakan hal tersebut dalam waktu yang bersamaan. Meskipun Bagas menunduk, senyum terlihat jelas di wajahnya. Senyum yang selalu membuat Ritha tenang dan bertahan selama ini.
"Kayaknya kita jodoh." Bagas mangangkat wajah. Lengkungan masih ada di sana, dan itu berhasil membuat Ritha semakin salah tingkah.
Ritha merasakan tubuhnya gemetar. Ia mengambil satu langkah mundur, ingin segera melarikan diri.
Namun Bagas kemudian terlihat mengambil napas panjang, sebelum akhirnya melangkah, mendekati Ritha.
Ritha semakin dibuat gugup. Kalau pun ada kesempatan, ia ingin segera berlari menjauh karena malu jika sampai Bagas tahu bagaimana perasaannya saat itu.
"Selamat buat gelar sarjananya. Aku kalah lagi dari kamu." Bagas mengulurkan tangan.
Ritha memandang uluran tangan itu, kemudian ganti menatap wajah Bagas. Ada dorongan dari dalam hatinya untuk segera memeluk Bagas, melepas rindu yang telah tertimbun selama bertahun-tahun. Sosok inilah yang selalu ia nantikan. Nama Bagaslah yang selalu ia bawa dalam doa. Selalu cukup baginya jika Tuhan berkenan mempertemukannya dengan Bagas, meskipun hanya dalam alam mimpi.
"Nggak mau nerima ucapan selamatku?" Bagas menarik kembali tangan kanannya yang sempat terulur.
"Eh, bukan gitu. Bukan maksudku gitu," ujar Ritha cepat tidak ingin membuat Bagas salah paham. "Aku cuma..., cuma...."
YOU ARE READING
Sayap Mimpi
Romance"Dreams are conceived long before they are achieved. The period of time between the birth of a dream and its realization is always a process." (John C. Maxwell) "Aku pernah mendengarmu mengutarakan mimpi. Bertahun-tahun yang lalu. Sekali. Hanya seka...