Menetapkan Hati

38 3 0
                                    

Pagi-pagi sekali, Komang Dika telah berdiri di depan teras. Dia membawa sebuah kantong plastik berukuran tanggung.

Kikan, Mia, Ritha dan Helma tengah menyiapkan sarapan. Ini hari pertama Helma mau menginjakkan kaki di dapur. Dia mencoba berkenalan dengan kepulan asap yang sempat membuatnya tidak pernah ingin pergi ke sana.

"Eh, Komang udah bangun?" Helma meletakkan nampan berisi dua gelas kopi dan enam gelas teh hangat. Dia tersenyum bangga begitu melihat gelas-gelas tersebut sampai dengan selamat di atas meja. Dia berusaha sangat hati-hati membawa nampan itu, apalagi dengan kondisi pekarangan yang becek karena hujan semalam.

"Tunggu ya, Kakak mau bangunin om dulu," katanya bersemangat kemudian melangkah mendekati kamar Agra, Devan dan Sandy.

Begitu mendengar suara Devan dari dalam, Helma kembali menghampiri Komang. Dia menyodorkan pisang rebus yang masih hangat.

Komang menggelengkan kepala, dia mungkin sudah bosan dengan pisang rebus.

"Komang bawa apa?" tanyanya ramah.

Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Komang membuka ikatan pada ujung plastik. Dia mengeluarkan buku tulis dengan gambar salah satu pemain sepak bola, Bayu Gatra, di bagian sampul. Rambut dari pemain sepak bola itu terlihat begitu hitam karena ditebalkan dengan tinta pulpen.

Jari-jari mungil Komang kemudian membuka lembaran kertas yang telah tertekuk. Ada banyak coretan, kombinasi garis dan beberapa bentuk tidak jelas. Setengah bagian dari kertas itu bahkan terlihat luntur. Sepertinya buku tersebut sempat basah sebelumnya. Komang meletakkan buku di atas meja. Dia kembali merogoh sesuatu di kantong plastik. Sekotak krayon kini berada dalam genggamannya.

"Komang mau belajar gambar?"

Anak itu hanya mengangguk. Dia kemudian membuka kotak krayon.

"Hitam," katanya begitu mengambil batang krayon bewarna hitam. Dia memegang krayon erat dengan seluruh jari tangan kanannya, persis seperti mengenggam sebuah tongkat.

"Mau gambar apa?"

Komang hanya tersenyum. Matanya menyipit setiap kali dia menarik kedua ujung bibir. Dia mulai mencoreti kertas, terus menggambar, menerjemahkan apa yang ada di dalam imajinasinya.

Helma kemudian melingkarkan tangan di tubuh Komang. Dia berusaha membimbing anak itu agar bisa memegang krayon dengan baik.

Komang tidak menolak, dia mengikuti Helma, hingga mereka berhasil membuat sebuah lingkaran. Meskipun tidak sempurna, Komang terlihat begitu puas.

"Bal," sahutnya, kemudian menoleh Helma, seperti ingin menunjukkan bahwa ia telah berhasil menggambar bola.

Helma kembali memamerkan giginya yang ompong, kemudian berusaha menggambar bentuk serupa tanpa bantuan Helma.

Melihat respon dari Komang, ada perasaan yang tidak biasa di dalam hati Helma. Dia bahagia, puas, dan merasa dihargai atas apa yang dikerjakannya. Helma semakin mengerti apa yang sering dibicarakan oleh Ritha tentang sosok seorang guru.

"Jadi sekarang udah buka les privat?"

Terlalu serius menemani Komang belajar, Helma sampai tidak menyadari bahwa Sandy sejak tadi telah berdiri memperhatikannya. Sandy memutuskan untuk meninggalkan Devan dan Agra yang masih enggan meninggalkan kasur.

Sandy duduk bersila di lantai, wajahnya sejajar dengan tinggi meja. Dengan leluasa, ia bisa melihat apa yang Komang gambar. "Oh, belajar bikin bola?"

Helma jadi salah tingkah. Dia malu sendiri mendapati dirinya bertingkah seperti seorang guru. Apalagi, selama ini dia selalu mengganggap remeh profesi ini.

Sayap MimpiWhere stories live. Discover now