Four

1.3K 221 7
                                    

[PART INI TIDAK ADA DI PIANOFORTE SEBELUM REVISI]

Saat itu Bus yang kami tumpangi terasa sunyi. Sepanjang jalan aku dan Baekhyun terdiam bersama. Aku terus menghadap jendela, termenung memikirkan bagaimana caranya meloloskan diri dari pria sialan di sebelahku. Batinku terus meracau berbagai sumpah dan doa agar Baekhyun menerima karma dan kutukan di hari tuanya. Aku sungguh tidak peduli kalau ia sengsara.

"Tadi kau menangis?" Ia bertanya.

"Menurutmu?"

"Kenapa menangis?"

"Kau membuatku takut."

Tanpa permisi, Baekhyun mengaitkan rambutku ke belakang telinga dan memasang satu headset dirunguku. Aku melepasnya tak minat, namun ia menatapku dalam penuh paksa. Aku lupa kalau ia adalah orang yang sulit dibantah.

"Aku tahu hatimu sedang tak karuan. Lagu ini bisa menenangkanmu." Bisiknya, lalu memasang benda itu kembali ke telingaku.

Aku membiarkan benda itu terpasang. Tidak kusangka seorang Byun Baekhyun yang amburadul selera dengan lagu tenang seperti ini. Entahlah, aku tidak tahu ini lagu apa tapi memang membawa suasana menjadi lebih nyaman.

Kami turun di halte bus yang jauh dari tempatku tinggal dan bersekolah. Ini bisa aku laporkan sebagai penculikan. Ia mengajakku secara paksa dan tidak membiarkanku membantah sedikit pun. Memegang ponsel saja dilarang. Dimana kebebasanku?

Baekhyun jalan lebih dulu dan masuk ke dalam internet café. Ia bertegur sapa dengan kasir yang bekerja di sana. Mereka sedikit bergurau dan tampaknya sudah akrab.

"Siapa dia?" Tanya pria kasir itu ketika matanya menangkap bayanganku jauh di belakang Baekhyun. Kebetulan aku sedang melihat-lihat.

Baekhyun mengikuti arah pandang temannya. "Dia temanku."

"Aku sanderaannya." Jawabku lantang, menyindir Baekhyun.

Baekhyun mendelik padaku lalu meringis. "Jangan dengarkan dia. Jadi komputer mana yang bisa kami gunakan?"

Tidak aneh, pria kasir itu lebih percaya ucapan Baekhyun dan tidak menghiraukan kami yang sempat bertengkar karena masalah toilet. Aku butuh kamar mandi tapi Baekhyun memaksa minta ikut. Jadilah ia menemaniku sampai depan pintu. 

Kami bermain di komputer yang jelas berbeda tapi bersebelahan. Seharian itu hanya diisi bermain game, memakan ramyun, pergi ke toilet –yang selalu ditemani, dan kadang berbincang. Suasana mood-ku perlahan membaik. Aku rasa karena semua biaya ditanggung Baekhyun. Aku tertawa. Ia memiliki hutang yang banyak tapi bisa-bisanya mentraktirku.

Laki-laki itu menatap arlojinya. "Sudah pukul sembilan. Ayo kita ke sana."

Ia menarik selempang tasnya yang dikaitkan di satu bahu. Jalan begitu saja tanpa peduli padaku yang masih membatu di bangku. Aku melirik ke arah ponsel yang terhimpit di antara buku dalam tas. Lampu LED-nya menyala. Soyeon pasti mengirimiku pesan.

"Byun Baekhyun, aku harus balas pesan kakakku dulu." Kataku sembari menunjukkan bukti sms Soyeon pada Baekhyun. "Aku tidak mau membuatnya khawatir."

Baekhyun setuju. Aku mengambil jarak beberapa langkah menjauh. Jemariku mengetik minta tolong pada Soyeon dan segera menyalakan GPS. Menangkap sinyal Baekhyun mendekat, aku pura-pura menelepon.

"Iya, aku bisa pulang sendiri.... tidak perlu khawatir... baik... sampai jumpa."

Ketika berbalik, kami persis berhadapan. Baekhyun tidak curiga. Ia melemparkan senyum ramah, lalu menarikku ke pemberhentian bus. Aku berhasil di tahap pertama.

PIANOFORTE [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang