Saat itu, tepatnya pada hari kamis sore aku mengantar Ibu ke terminal terdekat dari kosku-Terminal Jombor, Yogyakarta. Sambil menanti bus yang akan mengangkut Ibu kembali ke kampung halaman- Lampung, tak dapat kukatakan bagaimana kacaunya perasaanku saat itu. Ingin rasanya kukatakan pada Ibu "Bu jangan pulang sekarang, Fitri belum ada teman disini. Fitri masih takut ditinggal sendiri. Disini Fitri tidak ada saudara sama sekali." tetapi, lagi lagi keinginanku harus kandas. Bibirku kelu untum mengatakannya. Dan setelah satu jam menunggu, akhirnya bus yang akan mengantar Ibu pulang pun datang. Seperti diterpa bom hatiku saat itu. "Jaga dirimu baik-baik ya, Nak. Hati-hati, jangan sampai kau salah pergaulan. Ingatlah di kampung banyak keluarga yang mengharapkan kesuksesanmu." kata Ibu seraya beranjak menaiki bus. Air matanya terlihat dari pelupuk matanya.
Beberapa menit kemudian pandang bus yang dinaiki Ibu mulai kabur dari penglihatanku. Lalu aku beranjak dari terminal dan berlari menuju ke kamar kos. Ku kunci kamar kos dan mulai aku menangis sejadi jadinya saat itu. Aku benar benar takut. Aku benar benar asing di tempat ini-Yogyakarta. Ini adalah kali pertama aku berada benar benar jauh dari keluargaku. Dan kenyataan yang paling penyakitkan adalah jark yang memisahkan kita, dan sekarang kami berada di dua pulau yang berbeda.
Aku menangis sejadi jadinya sampai aku merasa lelah dan tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Catatan Sang Perantau
Aktuelle LiteraturIni adalah cerita yang kutulis berdasarkan pengalaman yang pernah aku alami pribadi. Tentang perjalananku di kota orang. Tentang pahit manisnya hidup menjadi seorang perantauan. Aku hanya hendak berbagi pengalaman. Ada pun sebagian cerita yang ku...