Aku Ingin Pulang

254 1 0
                                    

Hampir dua pekankulalui bersama dia. Teman baruku yang berasal dari kota Jakarta.  Seorang rantauan yang sama sama asing dengan kota Yogyakarta.  Hal yang paling kusukai darinya adalah ia seorang yang mudah berteman dan tak pernah pandang bulu dalam bergaul.  Meski kakiniannya berada di level lebih atas dibanding denganku.  Dia ini juga seorang pecinta kuliner menurutku.  Hal yang biasa kita lakukan adalah pergi bersama sekadar mencari makan malam.  Rutin kami lakukan selama sepekan awal di Yogyakarta.  Mencari tempat makanan yang sesuai dengan kantong anak kos.  Lesehan dan angkringan tempat jajakan terfaforit bagi kita.

"Hari ini free ngga?" pesan chatku.
"Free. Kenapa memang Fit?" balasnya.
"Makan yok.  Laper.  Hehe."
"Asikk.  Ayok Fit.  Aku juga laper."
"Ok.  Kutunggu di depan kos. Segera otw ya?"
"Siap!"

Yaps!!! Kita keliling mencari makanan.  Saat itu, sekita pukul 4 sore Teti dan aku pergi menuju warung makan yang menyediakan  hot plate dengan harga yang murah meriah.  Cukup dengan 13.000 Rupiah saja kita sudah mendapatkan seporsi hot plate yang nggak kalah nikmatnya dengan yang ada di restaurant. 

Saat itu kusikat habis makanan yang ada.  Minuman faforit kita adalah es teh.  Harga murah dan banyak yang pasti. Haha maklum anak kos

Sehabis makan, Teti mengajakku pergi berkeliling Malioboro

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sehabis makan, Teti mengajakku pergi berkeliling Malioboro.  Ada yang hendak dicari disana.
"Habis ini kamu mau ngapain Fit? "
"Pulang, tidur.  Kenapa memangnya?" tanyaku.
"Kelilinga Malioboro dulu mau nggak?  Tanggal 11 aku mau pulang?"
"Apa?  Pulang?  Serius?  Kenapa pulang?  Terus kalo kamu pulang aku sama siapa?  Kan kawan kawan yang lain belum pada datang ke Yogya.  Kamukan tau kita terlalu buru buru ke Yogya.  Argh!!  Aku takut." rasanya seperti tesengat listrik saat mendengar Teti hendak pulang ke Jakarta.  Aku juga rindu rumah.  Saat itu juga aku tak dapat menahan kesedihan dan penyesalan dalam hati.
"Aku cuma seminggu di Jakarta.  Ibuku sakit,  jadi aku harus pulang." jawabnya.

Aku tak dapat lagi menjawab.  Apa yang bisa ku perbuat. Ibunya sakit,  mana mungkin aku menahannya agar tidak pulang. 

11 Agustus 2016

Pagi itu Teti pulang.  Dan saat itu aku benar benar homesick.  Aku galau.  Aku rindu rumah.  Tanpa berpikir panjang,  siang harinya ki telfon Ibu dan mengatakan kepadanya bahwa aku ingin Pulang.

"Hallo,  Assalamu'alaikum. Ada apa, Nak?" suara Ibu diseberang.
"Wa'alaikumsalam.  Bu, aku pengen pulang.  Kawan kawan belum semuanya datang dan yang sudah datang kembali pulang.  Aku sendirian Bu." keluhku dengan nada keras.
"Ibu tanya,  kamu mau pulang mau ngapain?  Toh sama saja menganggur." jawab Ibu.
"Iya.  Tapi beda Bu.  Kalau di rumah setidaknya aku ada kawan bicara kalau disini tidak. Pokoknya aku mau pulang!"
"Ya sudah kalo memang mau pulang dulu suruhlah pulang.  Uang yang kemarin di trasfer untuk ongkos pulang dulu saja." ku dengar suara Bapak.
"Yasudah pulang hari Sabtu sore saja.  Biar sampai Lampung hari Minggu ada yang jemput. "

Ku tutup telfon. Dan mulai aku merasa senang.  Aku berniat esok akan segera memesan tiket bus malam.  Tapi,  saat aku melangkah menuju terminal, lagi lagi bayangan akan cemoohan orang orang terasa berada tepat di depan mataku.

"Baru merantau belum. Ada sebulan sudah pulang.  Paling paling juga tidak betah.  Sama seperti yang dulu.  Haha,  bergaya sih hendak jauh dari orangtua.  Tak sadar bahwa dirinya anak mami. "

Pasti itulah yang akan dilontarkan para tetangga dan saudara jika aku pulang esok.  Ku tahan langkahku dan mulai membalikkan badan menuju kos.  Ku tutup pintu dan kembali aku bersyahdu dengan air mata yang tak dapat ku bendung lagi.  Perasaan menyesal pun menyergapku.  Andai dapatku putar waktu,  tak mau pula aku datang secepat ini.  Andai dapat ku putar waktu, aku akan datang awal bulan September saja.  Aku benci!

Setelah ku timang timang antara keputusan merugikan dan menguntungkan jika aku pulang esok,  ternyata dari hasil tersebut  kudapati lebih banyak ruginya ketimbang untungnya.  Alhasil,  ku putuskan untum tidak jadi pulang ke Lampung dan menetap di kosan.

Dan itu akhir yang menyakitkan bagiku. Saat aku benar benar merasa rindu dan harus kutunda untuk bertemu. 

Pada siapa aku hendak mengadu?  Ketika semua yang bersamaku hanyalah benda benda mati.  Hanyalah dinding dinding kokoh yang bersikap kalem. 
Tak menjawab saat aku bertanya.
Tak menasehatiku saat aku bersalah.
Dan tak menungguku saat aku pulang telat.
Aku rindu rumah.
Aku rindu Ibu dan bapak.
Aku rindu dimarahi oleh kalian.
Aku rindu akan perhatian kalian.
Andai dapat kuluapkan semua perasaan.
Tapi aku tak tau kepada siapa aku bercerita.
Kepada Tuhan?  Dia hanya diam.
Andai dapat kupeluk Tuhan,  ingin rasanya aku didekapnya.
Tuhan, kuatkan aku.

Catatan Sang PerantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang