29 Agustus 2016

157 2 1
                                    

Jum'at. Saat sinar sang mentari mulai menyelusup memasuki ruangan sempit tempatku terlelap semalam dan mulai menggelitik mataku. Perlahan katup mataku mulai melebar. Dalam sekejap melayang pikiranku tentang kebiasaan kecil yang selalu Ibu lakukan untuk membangunkanku dipagi hari.

Ku buka jendela kamar dan mulai ku tatap langit yang cerah. Aku masih sendiri. Tetangga kamar sebelah belum ada yang ku kenal. Bahkan yang paling kubenci adalah saat aku mencoba keluar kamar karena ingin bertatap muka dengan tetangga kamar sebelah dan yang dia lakukan adalah bergegas masuk ke kamarnya dan mengunci pintu. "Daaaarrrr!!!! " seperti ingin meledak hatiku.
"Kau pikir aku hendak maling? Kau pikir aku hendak menculikmu? Sampai begitu kau bertingkah laku." omelku dalam hati.

Kembali aku masuk ke kamar dan menangis seorang diri.

Sejak kemarin sore aku belum juga makan. Siang itu perutku mulai berontak meminta makan. Tapi aku masih takut untuk keluar, walau hanya membeli makan. Beruntungnya ada magicom yang bisa ku gunakan untuk memasak nasi, walau sekadar berlauk telur rebus yang ku masak secara bergantian dengan nasi di dalam magicom. Sedih sekali rasanya makan seorang diri di dalam kamar kos. Pikiranku kembali melayang tentang kebiasaan makan bersama keluarga di rumah. "Oh Tuhan sebegininyakah kesedihan yang harus lewati selama 1 bulan penuh ini? " rintihku.

Hal yang harus ku catat dalam karyaku ini adalah sebuah rahasia besar yang tak dapat ku ungkapkan di depan orangtuaku. Yaitu bahwa kedatanganku di kota Yogyakarta secepat ini hanyalah ingin mendaftarkan diri mengikuti UN Perbaikan di Yogyakarta. Tetapi, aku tidak bisa mengatakan semua ini secara terus terang di depan kedua orangtuaku.

Seusai makan, kubuka pintu kamar dan mulai aku duduk di depan pintu. Ku tatap lekat lekat lorong pintu gerbang kos. Dalam hati berbisik "Aku ingin keluar, tapi aku masih takut. Aku ingin membeli makan dan cemilan untuk di kos. Tapi aku takut. " dan ketika aku sudah mulai lelah dan hendak beranjak masuk tiba tiba handphoneku berdering. Ku lihat Ibu yang menelfonku. Dengan semangat yang begitu mencuat ku angkat segera.

"Hallo. Assalamu'alaikum," kata Ibu dari seberang.
"Wa'alaikumsalam. Sudah sampaikah Bu?" tanyaku.
"Sudah. Sudah makan? Kalau sudah, makan dengan apa?"
"Sudah, Bu. Tadi saya beli lotek di warung depan. " jawabku.
"Oo. Yasudah kalau begitu. Jangan sampai telat makan, jaga kesehatanmu baik baik. Disana ndak ada siapa siapa yang merawat kamu kalau sakit."
"Iya, Bu. Siap. Hehe. " jawabku singkat.
Berbincanganku dengan Ibu begitu singkat siang itu. Tak banyak berkata. Setiap hari pun hal yang sama selalu Ibuku lakukan, sekadar bertanya aku sidah makan atau belum. Dan aku benar benar homesick.

Catatan Sang PerantauTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang