Untuk wilayah kota besar yang setiap hari menghadapi polusi, malam ini sepertinya amat dingin. Javas sempat berhenti sejenak dan menarik resleting jaketnya hingga ujung kerah, berharap dapat menghalau dingin walau sedikit.
Sudah setengah jam Javas mengendarai motor, putar sini-putar sana, cemas sekali rasanya, sejak tadi Dara tak ada dimana-mana. Belum lagi udara yang dingin ini, dalam hati Javas berdoa akan Dara.
Javar mengerjapkan matanya, memastikan ia tak salah melihat Dara dibawah pohon didepan sana. Terlihat Dara duduk diatas rumput hijau, rambutnya yang kecoklatan tergerai bebas, ia duduk meringkuk memeluk kedua lututnya, merunduk.
Disepanjang jalanan didaerah tersebut, trotoarnya berdampingan dengan hamparan rumput hijau dengan dihiasi pohon palem yang berbaris. Saat siang, pohon-pohon itu benar-benar berjasa, pejalan kaki yang menggunakan trotoar, terlindung dari panas matahari siang oleh bayangan pohon-pohon itu.
Javas memarkirkan motornya asal, melintang diatas trotoar, melanggar rambu. Ia kemudian dengan panik berlari menghampiri Dara.
Merasa ada yang berdiri didepannya, Dara mendongak. Didapatinya Javas memandanginya dengan tatapan panik, cemas, beserta sendu yang terselip diantaranya.
Tanpa mengatakan apapun, Javas membuka jaketnya cepat, berjongkok, dan buru-buru memakaikannya pada Dara.
"Dara, dingin. Ngapain disini?" Tanya Javas, ia berjongkok dan menatap Dara dekat.
Dara hanya diam, matanya agak sembab, hidungnya merah, bibirnya yang mungil pucat sekali. Dara pasti habis menangis, juga kedinginan. Tidak, Javas benar-benar tidak tega.
Dara masih bungkam. Javas akhirnya meraih tangan kanan Dara, sangat dingin rasanya saat kulit mereka bersentuhan, Javas kemudian mengusap-usap kedua tangan mereka. "Lo kedinginan?"
Dara diam, tapi ia bergerak menarik tangannya dari genggaman Javas. "Pergi. Gua gak butuh siapapun, dan gua gak dibutuhin siapapun."
Javas kembali meraih tangan Dara, tapi Dara kembali menarik tangannya. Javas mencobanya lagi, dan Dara mengelak lagi.
"Dara, jangan gini. Lo kedinginan, mau nanti Hypotermia?" Javas kembali meraih kedua tangan Dara.
Dara berusaha menarik tangannya lagi, tapi Javas menahannya. "Lepas." Dara terus meronta-ronta, sangat kasar, tangannya sendiri pasti sakit.
"Lepasin!" Bentak Dara keras, air matanya kembali mengalir.
Javas terkejut, ia tak tega dan akhirnya melepaskan genggaman tangannya.
Dara mengusap air matanya. Ia menunduk sebentar sebelum tangisnya kembali pecah. Dara mengepalkan kedua tangannya dan memukul dada Javas berkali-kali sambil terus terisak.
Javas hanya diam membiarkan Dara memukul-mukulnya, manahan rasa panas ditelinganya yang mendengar isak tangis Dara, sakit sekali rasanya. Tanpa aba-aba akhirnya Javas memeluk Dara erat, membiarkan gadis itu menangis dalam dekapannya.
Dara tidak menolak, ia terus terisak disana, membenamkan wajahnya pada dada Javas, meninggalkan jejak basah dikaus coklat itu.
"Jangan nangis." Pinta Javas pelan. Satu tangannya mendekap punggung Dara, tangan yang lain mendekap kepala Dara.
"Javas, tolongin gua, gua depresi." Lirih Dara.
Javas mengelus kepala Dara lembut. "Gapapa. Lu gapapa."
"Gua ini putus asa, emosi, pesimis.." Dara diam kemudian melanjutkan. "Gua berantakan, gua depresi."
"Nggak, lu gapapa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Estetika Cinta (hiatus)
Подростковая литература[Dunia yang menunggu untuk kau kunjungi] "Mereka bertanya, buta kah aku telah memilihmu? Entahlah, apakah cinta butuh alasan?" - Javas Aharon. "Walaupun yang setiap hari mereka cibir itu kita, aku tahu kita bisa, kalau mereka seribu aku dan kamu sat...