PoV Barra

66.2K 5.8K 362
                                    

Seorang perempuan cantik berambut panjang duduk di hadapanku.  Ia sempurna di mataku. Penampilannya selalu mempesona dan tak pernah membuatku bosan. Harum tubuhnya sering kali menggoyahkan akal sehat. Dia milikku.  

Tapi keberadaan kami di cafe yang memberi banyak kenangan bukan untuk mengukir memori. Pernyataan yang ia ucapkan lima menit lalu telah mematahkan harapan. Aku masih belum mempercayai sepenuhnya apa yang terdengar. Dan ya, dia memilih pergi.

"Aku tahu ini sulit tapi ini langkah terbaik untuk masa depan kita. Terima kasih selama ini kamu sudah menjaga dan mencintai tanpa syarat. Kamu bahkan lebih mempercayaiku daripada Vira.  Kita harus berpisah karena seperti yang sudah kujelaskan sebelumnya, keluargaku akan pindah ke Surabaya. Kamu sudah tahu sejak awal kalau diriku bukan tipe perempuan yang bisa menjalani hubungan jarak jauh."

Ia menyentuh jemariku yang sedingin es. Apalagi yang ia harapkan setelah mematahkan impian di usia remaja sepertiku.  "Kita sudahi saja basa-basinya. Bila dengan keputusan ini membuatmu bahagia, aku tak punya hak untuk  merusaknya. Kamu bebas pergi."

Sorot mata Vanesa meredup. Dulu, aku paling benci melihatnya sorot yang ia perlihatkan tetapi sekarang, kenyataan kami bukan lagi sepasang kekasih memaksaku berpikir logis. Jemarinya masih mengusap tanganku, berharap mampu memberi kehangatan. "Jangan kekanakan. Kita masih sangat muda. Ada banyak harapan di masa depan untuk kita. Maaf kalau keputusanku menyakitimu. Lupakan diriku bila itu bisa membuatku bahagia. Aku pergi dulu. " Ia bangkit, mendekati kursiku lalu mengecup singkat pipi. "Bye, Ra."

Sepeninggal Vanessa, perempuan pertama yang menghadirkan rasa berbeda dalam sepanjang hidup, aku masih membeku di tempat. Melempar pandangan ke luar jendela. Memandangi hujan yang turun semakin deras. Berharap sakitnya patah hati akan tergerus dan terbawa arus.

Deringan ponsel mengusik kesadaran. Mimpi itu mulai memudar namun tidak dengan bayangan Vanesa. Rasa perih kehilangan dirinya tetap bertahan hingga detik ini. Bagian yang tertinggal tentang dia belum sepenuhnya bisa lepas.

Aku berhenti mengikuti kegiatan perempuan yang cukup aktif di media sosial itu. Membuang sebagian besar benda yang mengingatkan padanya. Dan menyisakan selembar fotonya di dompet.

Dengan enggan tubuh perlahan bangkit, memejamkan mata sesaat sebelum akhirnya meraih ponsel di nakas. "Hallo, Son. Ada apa?"  

"Malam ini ada acara nggak? Kita hang out gimana?"

"Sorry, hari ini gue pass dulu. Gue nggak tega ninggalin ibu suri sendiri." 

"Ah dasar anak mami. Ya sudah besok kita ketemu di kampus. Bye." Sonny menutup teleponnya sepihak.

Aku bergegas membersihkan diri, mendinginkan kepala sekaligus menenangkan perasaan. Bunda, perempuan yang melahirkanku itu tengah menelepon saat kuhampiri di ruang tengah. Dari raut kesal dan cara bicara yang kadang terdengar manja, sudah bisa di tebak siapa penelepon diseberang sana.

"Pak, cepat pulang. Istrinya sudah kangen katanya." Bunda mendelik kesal sembari menjauhkan ponsel dariku yang mengambil tempat disampingnya.

"Sudah dulu ya, Yah." Aku tertawa geli melihat raut masam Bunda setiap kali kugoda. 

Bunda menggeleng lalu duduk menepuk lututku. "Bagaimana tadi acaramu dengan Vira tadi ?"

"Bunda tahu darimana aku pergi sama Vira?"

"Tante Alma tadi pagi menelepon, mengatakan kalau kamu pergi nonton sama Vira. Kenapa kamu tidak cerita sama Bunda soal ini?"

Tanganku meraih koran milik Ayah di meja. "Memangnya perlu ya, Bun. Biasanya Bunda nggak terlalu peduli dengan siapa aku menghabiskan waktu."

I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang