Hujan di luar masih belum memberi tanda akan mereda. Genangan air perlahan mulai meninggi. Gorong-gorong yang di penuhi sampah tidak lagi mampu menampung hingga isinya meluap ke jalanan.
Barra meminta menggantikan posisi tangannya yang memegangi jaket untuk menaungiku. Aku masih terpaku di trotoar, memperhatikan dirinya yang bergerak cepat mengeluarkan kunci mobil dan menekan tombol hingga terdengar bunyi tanda mobil tidak lagi dalam keadaan terkunci.
Dalam satu tarikan cepat, tubuhku menempel dalam pangkuannya. "Jangan lepas jaketnya." Ia mengingatkan diriku yang masih terkejut dengan aksinya.
Beberapa detik kemudian, pantatku mendarat sempurna di jok mobil. Pandangan mata belum beralih dari sosok yang berjalan cepat memutari mobil dan baru saja menghempaskan tubuhnya di bangku kemudi. Tenggorokan mendadak terasa kering melihat kaus basah yang ia kenakan, memperlihatkan otot dada dan perut dengan sangat jelas.
Barra belum berhenti bergerak, ia berbalik ke arah belakang, mencari-cari sesuatu dari dalam tas fitnes berukuran sedang. "Pakai ini." Dengan agak canggung, handuk kecil merah yang ia sodorkan beralih dalam genggamanku.
Ia sendiri menggunakan handuk lain untuk untuk mengeringkan rambut dan beberapa bagian tubuh yang basah. "Kamu boleh tutup mata kalau mau."
"Maksud Ka.... " Mulutku terkatup tak lagi mampu meneruskan kata-kata tatkala melihat laki-laki di sebelah tengah tanpa canggung membuka kaus basahnya.
Mata terbuka lebar demi melihat perut rata dengan garis otot yang berhasil membuat darah berdesir. Bahu dan tangannya begitu kekar. Pemandangan indah yang tersaji diikuti bayangan betapa hangatnya bila berada dalam dekapan dada bidang itu.
Aku memalingkan wajah ke arah jendela. Mengigit bibir kuat-kuat ketika menyadari harus membuang angan untuk memiliki Barra. Keberadaanku tidak lebih istimewa di banding teman-teman perempuannya. Dalam pandangannya, diriku hanya seorang adik, teman dari masa kecil.
"Kamu baik-baik saja, Ra?" tegurannya begitu lembut namun justru semakin memperdalam luka.
Kepalaku mengangguk, tersenyum seolah perih tidak pernah singgah. "Kak Barra kenapa bisa ada di sini?"
Ia menghela napas panjang. Melempar pandangan lurus ke depan. Kaus putih polos yang dipakainya sudah berganti dengan polo shirt biru. Pakaian apapun selalu membuat penampilannya menarik dengan catatan bila ia mengunci rapat mulutnya.
"Apa alasan Reihan menurunkanmu di tempat ini?" Selalu begitu, kebiasaan lama yang sulit hilang. Memberi jawaban dengan kalimat tanya lain.
"Oh, dia ada mendadak ada keperluan lain."
Degusan disertai senyuman kesal menghias wajah laki-laki di sampingku. "Apa sangat penting hingga tidak bisa menurunkanmu di tempat yang lebih layak. Orang lain saja memilih berteduh di emperan toko di banding halte bobrok itu."
Ketegangan yang menyelimuti kami berdua mulai menganggu. " Sudahlah, Kak. Aku sendiri yang memilih di mana akan turun. Sekarang, kenapa Kakak bisa berada di sini? Jangan jawab semua ini hanya kebetulan. Rumah kita berdua berlainan arah. Apa jangan-jangan Kakak sengaja mengikuti kami?"
Sorot mata itu menajam, mempertegas rahang kokohnya. Suaraku tercekat, menghilang seiring lirikan yang membangunkan rasa takut. Kenapa dengan dia selalu saja marah? Apa salahku?
Barra melepaskan ketegangan dengan menyandarkan tubuhnya kebelakang. Ia kembali menatap ke depan. Hembusan napasnya terdengar begitu jelas dalam kebisuan kami.
"Aku berterima kasih Kakak sudah menolong, membantu di saat sulit seperti sekarang. Tapi bisakah tak perlu mengusik hal pribadi. Dengan siapa atau hubungan seperti apa yang terjalin antara aku dan laki-laki lain bukanlah urusan Kakak. Siapapun orangnya pasti akan salah paham bila Kakak bersikap seperti ini terus."
KAMU SEDANG MEMBACA
I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)
RomanceCerita terakhir dari keluarga Hardiwijaya. Barra putra bungsu si Pangeran Es,Andra melewati masa patah hati nan pahit semasa remaja. Cinta pertamanya memilih pergi. Di sisi lain Devira, putri teman kedua orang tuanya tergila-gila pada laki-laki yang...