Kegelapan mewarnai langit seiring munculnya sang bulan satu jam lalu. Satu persatu lampu rumah di pemukiman mulai menyala. Malam mencipta keheningan. Suasana yang membawa setiap jiwa merasa aman berada dalam lindungan cahaya.
Konsep pemikiran itu tak berlaku untuk sepasang kekasih yang tengah asyik mengorol di teras rumah. Nyamuk menari-nari di antara keduanya. Sesekali dengungan berakhir dengan tepukan tangan di udara.
Di teras rumah Icha, aku dan Barra berbicara tentang waktu yang telah berlalu. Waktu di mana kami hanya sempat bertemu melalui panggilan suara dan terhalang oleh layar ponsel. Cara melepas rindu paling aman meski berada dalam satu kota.
Hari ini aku merasa menjadi lebih cerewet dari sebelumnya. Semua kegiatan kuliah bahkan detail tak penting kuceritakan. Barra merespon dengan anggukan atau senyuman. Kedua tangannya bersidekap, memperhatikan tanpa mengalihkan sedikitpun perhatian dari perempuan di sampingnya.
"Kenapa diam saja? Bicara langsung, kan, nggak pakai kuota," gerutu tidak puas.
Barra terkekeh geli melihat reaksiku. Sesaat wajahnya dengan sebelah tangan. "Aku sedang mengumpulkan ingatan tentang suaramu untuk beberapa hari ke depan. Kurasa kamu sudah puas hanya dengan melihat wajahku." Kerpercayaan diri menguar dari bahasa tubuhnya.
Aku sengaja mengerutkan dahi. Di sudut hati tersimpan harap agar tidak ada rona malu di pipi. Sekalipun perkataan Barra benar, perkataannya terkesan narsis. "Berkomunikasi melalui dunia maya dan bertemu langsung itu dua hal yang berbeda. Kita nggak bisa bebas bertemu seperti pasangan lain. Apa salah kalau aku ingin mendengar suaramu dari dekat?"
Barra tiba-tiba bangkit. Laki-laki bertubuh tegap itu kini melangkahkan kakinya ke hadapanku. Dia menundukan tubuhnya hingga setengah berlutut. "Bila waktu kita memang berharga kenapa harus mengisinya dengan kemarahan? Kedatanganku tidak lebih karena ingin melihat senyumanmu, mendengar tawamu, mengumpulkan kenangan sebanyak mungkin dan menguncinya dalam ingatan," bisiknya dengan suara berat. Jemariku diraihnya begitu kuat.
Aku menelan ludah. Genangan air membayang di bola mata. Keharuan menyesakan dada. Kenapa dia harus bersikap seperti ini? Membuatku merasa nyeri setiap kali memikirkan perpisahan.
"Siapa yang marah." Mataku mengerjap berulang kali, memastikan tidak ada bulir mengalir di pipi. "Bukannya Kak Barra yang suka marah."
Kepala Barra menunduk. Bulu romaku berdiri. Sentuhan hidungnya di jemariku terasa hangat. " Wajahmu seperti ingin menangis. Aku harus menahan diri untuk tak mengomelimu yang terus bicara agar air mata itu tidak mengalir."
Bibir bawah kugigit sangat keras. Kata-kata balasan tertelan di tenggorokan.
Pandangan kami bertemu saat Barra mendongkakkan kepalanya. Gemuruh menghentak semua indera. Jemariku menyentuh pipinya. Oh Tuhan, apa ini akan jadi sentuhan terakhirku.
Barra meraih jemariku di pipinya lalu bangkit. Ekspresi wajahnya kembali datar. Tubuhku ikut bangkit. Dengan lembut dan tanpa kata, dia menarikku dalam pelukannya.
"Jangan menangis lagi atau aku akan menemui orang tuamu," bisiknya.
Bayangan Barra berhadapan dengan kemarahan Ayah membuatku ngeri. Aku memaksakan diri agar terlihat sedikit lebih kuat. "Aku baik-baik saja, tadi cuma kelilipan."
"Bila kamu merasa lelah, katakanlah dengan jujur. Detik itu aku akan menemui orang tuamu. Bermain di belakang mereka pasti akan membuatmu kebingungan menentukan pilihan."
"Aku sudah bilang baik-baik saja," ucapku lalu melepas paksa rangkulannya.
Barra diam. Kedua tangannya menyusup ke balik celana. "Sudah malam. Sebaiknya kamu juga pulang."
KAMU SEDANG MEMBACA
I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)
RomanceCerita terakhir dari keluarga Hardiwijaya. Barra putra bungsu si Pangeran Es,Andra melewati masa patah hati nan pahit semasa remaja. Cinta pertamanya memilih pergi. Di sisi lain Devira, putri teman kedua orang tuanya tergila-gila pada laki-laki yang...