Lima menit berlalu sejak menginjakan kaki di rumah, perasaan kaget sekaligus tak nyaman menyelimuti hati. Keberadaan Reihan dan ibunya bukan sesuatu yang kuharapkan saat ini. Apalagi sikap Bunda terlalu kentara. Ia memperlakukan Reihan seolah laki-laki itu calon menantu idaman.
Aku terjebak dalam pembicaraan membosankan. Bunda dan Tante Lina asyik membahas mengenai kehidupan keluarga mereka. Tentu saja namaku dan Reihan termasuk di dalamnya.
Tante Lina seusia dengan Bunda. Perawatan membuat kulit dan wajahnya masih kencang. Rambutnya pendek dengan bagian poni tampak kaku karena hair spray. Polesan make up terlalu mencolok untuk sekadar mengunjungi rumah teman terutama di bagian mata yang berwarna-warni. Sebuah tas berwarna coklat dengan lambang huruf H berada di pangkuannya. Di luar penampilannya yang terkesan glamour, Tante Lina tidak pelit senyum.
Dari sekian banyak teman Bunda, hanya beberapa yang penampilannya seperti Tante Lina. Bunda sendiri jarang memakai barang mewah kecuali untuk acara tertentu. Untuk penampilan sehari-hari Bunda lebih nyaman memakai riasan sederhana. Mungkin karena Ayah paling menyukai wajah polos Bunda.
Bola mataku berputar ke arah laki-laki muda di sebelah Tante Lina. Garis wajahnya tidak terlalu mirip dengan ibunya. Matanya lebih kecil sementara hidungnya jauh lebih mancung. Fisik Reihan sepertinya menurun dari ayahnya. Hari ini memakai kaus hitam di balik sweater biru muda. Rambutnya tertata rapih seperti biasa. Pantas dia tidak pulang lebih cepat tadi.
Reihan membalas tatapanku lalu tersenyum. Huh, dari sekian banyak laki-laki di dunia ini, kenapa harus dia sih.
"Vira, ajak Reihan ke taman belakang. Kalian kan, sudah saling mengenal." Perintah Bunda setengah memaksa. Niat untuk beristirahat di kamar harus tertunda daripada melihat angkara murka sepanjang sisa hari.
Reihan menurut, mengikutiku dari belakang. Ia hanya berpura-pura antusias mendengarkan pembicaraan ibu-ibu tadi. Terjebak dan sungkan untuk protes. Dari caranya bersikap pada Tante Lina, Reihan masuk kategori penurut.
Kami tiba di bagian rumah paling belakang. Aneka tanaman hias berderet rapih dekat tembok pembatas. Begitu pula dengan beberapa pohon buah. Warna hijau mendominasi sejauh mata memandang. Dua kursi kayu terpisah oleh meja kecil berada di pelataran menghadap ke arah taman.
"Duduk deh. Kamu mau minum apa?" tawarku berbasa-basi.
"Tidak perlu repot," balas Reihan. Ia menghempaskan tubuhnya pada salah satu kursi.
Aku duduk di kursi yang kosong. Keadaan kami masih canggung walau tak punya masalah terkecuali mengenai Mieska. Perempuan itu pasti marah sekali bila tahu laki-laki yang selama ini mengejarnya dijodohkan dengan perempuan lain. Aku sendiri berharap perjodohan atau apapun itu hanya sebuah wacana.
Kami berdua terdiam. Situasi menjadi sangat canggung. Waktu berdetak seolah sangat lambat hingga aku ingin berteriak.
"Bagaimana menurutmu tentang rencana orang tua kita?" Suara Reihan memecah kebisuan.
"Rencana apa?" balasku pura-pura tak mengerti.
Reihan berdecak pelan. Pandangannya masih tertuju pada tanaman yang merambat pada dinding. "Ibuku memaksa aku menemaninya. Beberapa hari sebelumnya ia memujimu terus menerus. Tentu kamu bisa menyimpulkan sendiri alasan kedatangan kami."
"Seharusnya tanpa aku harus bicara, kamu bisa mengetahui jawabanku dari caraku bersikap. Apa butuh penegasan?" balasku.
"Oh karena perasaanmu tertambat pada laki-laki lain?"
"Masalah pribadiku bukan urusanmu. Kenapa kamu sendiri tidak jujur pada ibumu bahwa perasaanmu sendiri tertambat pada perempuan lain?"
Reihan melirik jam tangannya lalu bangkit. Perkataanku mungkin menyinggungnya tapi ia lebih dulu menyindir. Ketidaknyaman yang ia perlihatkan justru membuatku berpikir bahwa Mieska masih mengisi hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)
RomanceCerita terakhir dari keluarga Hardiwijaya. Barra putra bungsu si Pangeran Es,Andra melewati masa patah hati nan pahit semasa remaja. Cinta pertamanya memilih pergi. Di sisi lain Devira, putri teman kedua orang tuanya tergila-gila pada laki-laki yang...