Chap#8

67.5K 6.5K 335
                                    

Sejak lima menit yang lalu tubuhku berguling-guling, mengubah posisi dari terlentang menjadi tengkurap berulang kali saat berbaring pada single bed milik Icha. Penyebab semua ini tidak lain karena kemunculan tiba-tiba Barra ah bukan, tepatnya salah satu pertanyaan yang di sodorkan laki-laki itu memaksaku memeras otak. Beruntung keberadaan Icha tadi menyadarkan diriku dari gugup yang menyerang.  Ia bahkan menawari istirahat sebentar di rumahnya setelah Barra meninggalkan kami begitu saja.

Apa kamu benar-benar menyerah? Pertanyaan Barra sebenarnya mudah dipahami, hanya saja bahasa tubuh dan nada saat ia mengucapkan kalimat itu terdengar ambigu. Seolah memintaku berpikir ulang untuk  menyerah padahal seharusnya ia lega karena berkurang satu gadis naif yang mengharapkannya. Aku sampai mengulang kata-kata itu hingga sakit kepala tetap saja tidak mengerti maksudnya.

Icha muncul dari balik pintu kamar. Semua gerakan tidak jelasku terhenti. Ia pura-pura tak melihat aksi konyol perempuan yang kini duduk bersila dengan rambut berantakan di tempat tidurnya. Dengan hati-hati ia membawa nampan berisi dua gelas dan sebuah toples kue kering, lalu menaruhnya di meja kecil yang biasa  digunakan untuk mengerjakan tugas.

"Minum dulu. Sekalian kue nya di cicipi, di habiskan juga nggak apa-apa soalnya dua hari lagi kadaluarsa," ucapnya tenang.

Jemariku meraih gelas yang disodorkannya. "Thanks buat minuman dan kue yang dua hari lagi kadaluarsa. Kayaknya enak," sindirku.

Perempuan di hadapanku melakukan hal yang sama. Ia menghabiskan air minumnya dalam satu tegukan. " Tenang saja kue sama obat sakit perut sudah satu paket. By the way  lo masih mikirin ucapan Barra api tadi?"

"Seharusnya nggak, tapi ini." Telunjukku menyentuh kepala, lalu turun ke dada tetap dalam posisi tetap  menunjuk. "Dan ini lagi nggak sejalan. Lo tau gimana reaksi kalau dua kutub magnet yang sama bila saling berhadapan? Kurang lebih seperti itu."

Icha manggut-manggut. Ia membuka toples kue, lalu di sodorkan ke arahku. "Sesuatu yang berhubungan dengan cinta itu lebih rumit dari rumus Kimia yang kita pelajari. Nggak cukup  hanya mengandalkan teori atau quote yang katanya pasti bisa menambah motivasi. Butuh banyak praktek tapi ya  konsekuensi di tanggung masing-masing. Dan, ada tiga akhir cerita yang bisa di pilih, mau jadi istri yang di kawinin eh nikah maksudnya, puas hanya dengan status pacar sepanjang masa atau back to single. Pilih mana?"

"Gue pilih mengawali dari status jomblo bahagia, terus naik level jadi pacar yang diseriusin, nggak lama sah di hadapan penghulu. Setelah itu melewati proses jangan ada dusta di antara kita dan akhirnya happily ever after sampai maut memisahkan. Udah itu aja, titik nggak pakai koma apalagi tanda tanya. Paham." Kusodorkan kembali toples tadi ke arahnya.

Icha terkekeh sambil menggeleng. Ia tampak senang diriku terbawa arus kegilaannya. "Semua orang juga pasti  ingin begitu tapi nggak semua beruntung bisa mengalami tiga tahap tadi tanpa deretan masalah, banyak juga yang melewati proses putus sambung dengan pasangan yang berbeda-beda sebelum akhirnya justru  melabuhkan hati di pelaminan karena tuntutan umur atau desakan orang tua. Tapi ah sudahlah, jangan terlalu mengeluh nanti status single kita bisa di perpanjang Tuhan. Lagian masa depan kita terlalu berharga untuk memikirkan satu cowok yang belum tentu memiliki rasa yang sama." Ia mengakhiri jawaban dengan helaan napas.

"Tunggu, kita sedang membahas Barra atau temannya? Cowok berkumis yang kos di rumah lo." Bibir Icha mendadak mengerucut membenarkan dugaanku.

Khawatir membuat suasana hatinya memburuk, aku mengalihkan perhatian dan membahas hal lain. Tidak selalu sesuai harapan, terutama ketika lamunan lagi dan lagi menyeret kembali ingatan tentang Barra. Aku pun menahan diri memaksa Icha menceritakan mengenai laki-laki yang tengah ia pikirkan.

I (never) Give Up ( Sudah Diterbitkan)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang