ARIANNA
Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Mataku terpejam dan mulutku bergerak membuka dan menutup, membaca doa dengan suara yang lirih. Jantungku berdebar kencang, tubuhku menegang, kedua tanganku mencengkram kuat pegangan kursi. Keringat dingin bahkan mulai membasahi dahi dan juga tengkukku.
Untuk tujuh jam ke depan, aku akan merasakan penderitaan ini.
Saat kurasakan gerakan, mataku terbuka dan dengan cepat kepalaku menoleh ke kiri. Melihat pemandangan di luar yang gelap gulita melalui jendela berbentuk bulat. Hanya ada lampu-lampu kecil yang berjajar di pinggir jalan yang memberikan penerangan. Di ujung jalan, aku bahkan tidak bisa melihat apapun.
Gosh, I hate flying.
"Yang?" panggilan dan sentuhan lembut di tangan kiriku, membuat kepalaku menoleh dan menatap wajah lelaki yang sedang mengulum senyumnya. Aku tahu dia sedang menahan diri untuk tidak mengejekku saat ini.
"Jangan ketawa!" ketusku padanya dengan mata yang mulai terasa panas. Sebentar lagi kami akan take-off dan hal itu adalah yang paling kutakuti saat naik pesawat.
Ada dua saat krusial dalam penerbangan yang kuketahui, yaitu saat take off dan saat landing. Meskipun begitu, saat landing, dibandingkan takut, aku malah lebih merasa lega karena pada akhirnya kami akan menyentuh tanah dan mengakhiri perjalanan. Sedangkan saat take off, kami akan mengudara dan memulai perjalanan berjam-jam, tergantung dari tujuan.
Bagus kalau kami sampai tujuan dengan selamat, tapi tidak menutup kemungkinan juga sesuatu terjadi di tengah perjalanan. Banyak orang bilang padaku, kalau memang sudah saatnya nyawa dicabut, dimana pun akan sama saja. Memang. Tapi setidaknya, aku tidak mau meninggal dalam kondisi ketakutan dan kesakitan. Itu terlalu mengerikan.
Gawat, aku jadi membayangkannya.
"Hei, Princess." Suara lembut itu mengalihkanku dari pikiran-pikiran buruk. Aku menatap Rion yang tersenyum lembut padaku. "It's gonna be okay."
Aku menatap wajahnya dan menarik napas dalam. Saat pilot memberi pengumuman bahwa pesawat akan segera take off, aku mencengkram tangan kiri Rion dengan erat. Rion meringis kesakitan karena kuku panjangku yang mencakar kulitnya. Pada akhirnya, Rion memindahkan tanganku ke dalam genggamannya. Dia menggenggam tanganku erat di saat tangannya yang lain mengusap lembut punggung tanganku.
"Ada aku. Jangan takut."
Perlahan kecepatan pesawat pun bertambah. Suara mesin yang memekakkan telinga dan tubuh kami yang terdorong ke belakang, membuatku memejamkan mata dan menyenderkan kepalaku ke bahu Rion. Genggamanku semakin kuat saat perlahan hidung pesawat mulai terangkat.
Setelah roda depan terangkat dari landasan, berikutnya roda belakang. Kurasakan hentakan seakan kami akan jatuh saat badan pesawat sepenuhnya mengudara, yang membuatku memeluk lengan Rion dan membenamkan wajahku di bahunya. Aku terus membaca doa di dalam hati, untuk keselamatan kami dan juga ketenangan diri.
Kurasakan goyangan cukup kuat saat pesawat sedang menerobos awan satu per satu. Ini adalah hal normal, aku tahu, tapi tetap saja aku ketakutan merasakannya. Aku merasa seakan-akan pesawat ini akan jatuh kalau bergoyang sekuat ini. Meskipun pada kenyataannya, tidak sama sekali.
Setelah sepuluh menit penuh derita, akhirnya pesawat pun berada di ketinggian yang dicapai. Badan pesawat kembali sejajar dengan tanah dan goyangan tidak lagi kurasakan. Lampu seatbelt pun padam setelah itu. Beberapa orang terlihat beranjak dari kursinya menuju lavatory terdekat.
Aku menghela napas lega dan melepaskan pelukanku di lengan Rion. Meskipun tidak sepenuhnya tenang, tapi saat pesawat sudah dalam posisi stabil seperti ini, aku tidak setakut sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[5] Love Me Right [SUDAH DITERBITKAN]
Romance[CERITA AKAN DITERBITKAN SECARA SELF PUBLISH SEHINGGA SEBAGIAN BESAR BAB SUDAH DIHAPUS] Winner of The Wattys 2016 for EDISI KOLEKTOR and PILIHAN STAF category. "Because wherever I am, me without you is just half" Novel ke-5 yang merupakan sekuel da...