Bab 4 Perjalanan Mimpi: Lamaran?

160 16 2
                                    

Anisa POV

Mimpi itu datang lagi. Mimpi yang selalu datang saat terjadi hal buruk padaku. Tak sadar akan apa yang terjadi padaku sebelumnya, tapi aku yakin telah terjadi sesuatu yang buruk sebelum dirikumemasuki dunia mimpi.

Buktinya sekarang aku sedang berlari, terengah-engah, sesekali menengok ke belakang lalu menyeka keringat –lagi.

Disana, di ujung jalan setapak itu, 2 pria suruhan saudagar psikopat sedang berlari mengejarku. Tak bisa ku bayangkan apa yang akan terjadi padaku jika saat ini aku tertangkap. Mungkin menjadi istri ke-sekian dari saudagar itu, atau yang paling parah, aku ikut pergi ke Korea Selatan sebagai babu dari Elena. Kabarnya Elena tak kalah gila dengan ayahnya.

Elena pernah menjadi kakak kelasku saat masih SD. Dia 2 tingkat diatasku. Karena keluarganya yang sangat berada, dia melanjutkan sekolah di Solo. Tapi pernah tersiar kabar, Elena menikah selepas lulus SMA dan langsung bercerai seminggu setelahnya.

Seiring dengan meredanya gosip tentang Elena, kakek mengalami kekacauan dalam usahanya. Dia kakekku, seorang usahawan yang bekerja menggarap lahan pak Hari –saudagar itu.

Lahan itu ditanami gingseng peranakan Korea-Indonesia. Gingseng dengan ukuran yang lebih kecil (lebih menyerupai lengkuas) tapi katanya lebih unggul.

Setiap panen, gingseng-gingseng itu dijual kembali kepada pak Hari untuk kemudian di ekspor ke Korea Selatan yang notabene-nya sebagai negara penghasil gingseng. Cukup aneh memang, tapi itulah bisnis.

Kakek menyetujui pemotongan harga 15 persen dari penjualan gingsengnya, dengan dalih urusan bea cukai dan pajak ekspor.

"Kakek nda mau ribet, nduk. Biarkan pak Hari yang berpendidikan yang urus," kata-kata kakrk itu juga tak luput dari perjalanan mimpi ini.

Yang sering ku amati, kakek sering membawa pulang sebuah kwitansi berwarna hijau selepas menjual gingsengnya. Beliau begitu cermat dan teliti menyimpan kwitansi hijau itu.

Sekelebat senyum kakek yang sangat meneduhkan lewat di pikiranku. Tapi tak bertahan lama. Setelahnya yang ada justru senyum picik pak Hari dan juru pukulnya.

"HYA..!! Bayar hutangmu, tidak ada tempo lagi..! CEPAT...!!! OOH.. atau kau ingin mendekam 20 tahun dipenjara di umurmu yang setua ini, HAH...!!!" hardik pak Hari pada kakekku 3 bulan yang lalu.

"Saya mohon pak.. Beri saya kesempatan lagi, saya tidak tau dimana kesalahan saya," kakek berlutut dengan menangkupkan kedua telapak tangannya.

Aku? Kakek tak pernah membiarkanku menemui pak Hari, sendiri. Tapi kali ini masa bodoh. Adakah yang lebih empedu, ketimbang melihat kakek dan nenek yang sudah ku anggap orang tua sendiri, di hardik, di caci dan dimaki atas kesalahan yang belum ada kepastiannya?

Dengan langkah lebar, aku berjalan menuju pak Hari. Tanganku terkepal dengan buku-buku jari yang memerah seakan itu pertanda luapan amarah.

'DUAK..'

Ku hantamkan kaki kursi yang telah dipatahkan pak Hari sebelumnya, tepat mengenai rahangnya yang menengadah begitu sombong.

"Wah..wah..wah.. Kau tidak bilang Wagiman, gadis perawan manis ini disini," ucapnya sembari menatapku dari atas ke bawah. Jijik. Itu arti pandanganku saat itu.

"Bejo, Reno, tangkap gadis sombong ini," suruhnya pada 2 juru pukulnya.

Tak terima, aku berlari, terus berlari sampai ujung lereng ini aku tak menemukan tempat bersembunyi. Dengan kaki tertatih aku menuruni lereng berharap ada orang yang sedang bertani di bawah sana.

'BUK.. DUAK..'

Beberapa kali tubuhku terbentur akar pohon hingga akhirnya aku tiba di sebuah sawah, yang disitu ada sepasang kakek dan nenek, mungkin seusia kakek nenekku.

Follow MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang