Bab 7 Sakit yang Bertranslasi

2.3K 18 7
                                    

Pagi itu, di apartemen Galan sudah ada keributan. Bukan karena tangisan bayi, bukan. Tapi karena kecerobohan Anisa yang dengan sok taunya ingin memperbaiki shower yang airnya tersendat. Entah shower itu diapakan olehnya, tau-tau jidat Anisa sudah berdarah. Galan yang mendengar pekikan Anisa di pagi hari, langsung menuju sumber suara. Dengan kemeja yang belum dimasukkan sempurna ke dalam celana dan rambut acak-acakan belum disisir.

"Ya...Nisa, ada apa?" ucap Galan sembari membuka pintu kamar mandi. Ya, salah satu kebiasaan Anisa adalah tidak pernah mengunci pintu kamar mandi, dia takut di kamar mandi jadi alasannya.

"Huwaaa...! Galan, ngapain masuk? Ak..aku nda apa-apa," seperti biasa, kebiasaan latah Anisa saat di dekat Galan kambuh. Dengan bertindak kikuk, dia menyuruh Galan keluar.

"Nda papa, gimana? Ini darah, kenapa?" tanya Galan sambil menyeka darah di jidat Anisa.

Anisa geleng-geleng dengan ritme cepat, selain pertanda penolakan juga untuk menangkis debaran di dadanya yang menggila. Galan tersenyum tipis, coba meraih kepala shower dengan berjinjit dan meregangkan tangannya. Perutnya bercahaya, dan sialnya, binar itu di tangkap oleh mata Anisa.

'GLEK'

Anisa kepayahan menelan salivanya sendiri. Salahkan pria satu ini yang selalu memperingatkan untuk tidak menyukainya, tapi dianya sendiri selalu tebar pesona. Kasihan Anisa. Dengan pipi menggembung –coba menyamarkan semburat merahnya, Anisa keluar kamar mandi. Mengambil baju kerjanya, lalu memakainya secepat kilat.

"Showernya macet, mungkin sebentar sore tukang air akan datang, kita nanti mandi di kamar mbak Tasya," ucap Galan tenang, setenang embun di pagi hari. Galan seperti mengetikkan sesuatu dengan smartphone super canggihnya.

"Kita?"

"Apa ada pikiran vulgar lewat di otakmu saat ini?"

"Ah, nda lah, apaan coba," jawab Anisa canggung sambil berlalu ingin sarapan.

Tak selamanya yang pertama selalu terbaik, kadang yang kedualah yang lebih sempurna. Seperti pagi ini, pagi ke-dua mereka. Galan tak bisa menahan senyumnya yang indah bermekaran selama sarapan. Hingga ia tersadar, jidat Anisa terluka. Galan mendekat, menyibak poni itu, lalu pergi. Anisa yang merasa ter-PHP-in melengos memilih mencuci piring.

Galan datang lagi dengan kotak P3K. Melihat Anisa mencuci piring dengan sengat-sengit, Galan mendekatinya, menarik tangannya untuk duduk dikursi. Sedetik lalu duduk, Anisa bangkit lagi mencuci piring. Galan lagi-lagi tersenyum geli. Ia menarik tubuh Anisa tepat di pinggangnya, merangkulnya, lalu mendudukkannya tepat di atas pahanya.

Galan mengambil jepit rambut bunga tulip dari sakunya, menyematkannya di rambut Anisa. Membersihkan luka itu dengan antiseptik, meniupnya pelan, lalu menempelkan hansaplast motif hewan-hewan lucu.

"Cepatlah sembuh," Galan membisikkan kata itu pada luka Anisa, dengan nada bicara yang playboy abis.

"Apa kau memiliki jantung kuda di dalam sana, hem?" tanya Galan jahil. Sekarang ia menempelkan telinganya pada dada Anisa. "Hem, kau harus konsultasi pada dokter jantung sepertinya, tapi ku sarankan, jangan pada dokter ganteng di depanmu ini, nanti debarannya makin parah, em?"

'Duak..'

Sadar bahwa Anisa itu gadis barbar bertenaga kuda, Galan sudah siap siaga menyeimbangkan tubuhnya. Dan benar saja, Anisa memberontak dengan keseimbangan tubuh yang minim, akhirnya malah dia yang jatuh dengan pelipis menubruk pinggiran meja dan kaki terkilir.

"Bwahahaha...duh..hahaha" Galan tak bisa lagi menahan tertawanya, dan gelegar tawa itu tercetus juga.

"Kenapa ketawa, nda lucu loh ya, aku berangkat," ucap Anisa dengan bibir manyun, mencoba berdiri masih dengan tangan berpegangan pada meja makan. Baru sejangkah kakinya melangkah, tubuhnya tumbang, dengan salah satu kakinya membengkak, terkilir, pikir Galan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 04, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Follow MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang