The Fairytale

180 16 0
                                    

Jarum jam berdetak terlalu cepat malam itu. Aku tak dapat menahan diriku untuk menatapnya, khawatir segalanya akan terlalu cepat berlalu. Aku berbaring ditempat tidurnya, tak berani memejamkan mata sedikitpun. Pintu kamar masih kubiarkan sedikit terbuka. Dari kamarku yang redup, aku masih bisa melihat tangannya yang bersandar dilengan sofa didepan kamarku.
Ya, Tae. Dia duduk disana entah melakukan apa. Namun, dari cara duduknya, aku tahu dia belum tidur. Kenyataan Tae duduk disana untukku, membuatku terlalu bahagia hingga takut memejamkan mata. Aku takut, saat membuka mata nanti, Tae telah menghilang dan aku kembali sendiri.
"Tae,"panggilku pelan. Kulihat tangan dilengan sofa itu bergerak. "kau belum tidur,kan?"tanyaku.
Tae mulai berdiri. Dia membalikkan badan, menatapku dari celah pintu yang terbuka. Dia tersenyum tipis dari sana. "kenapa kau belum tidur? Kau harus istirahat,"ujarnya.
Aku ikut tersenyum melihatnya. "aku tidak bisa tidur,"jawabku. Senyumku semakin mengembang saat ide itu tiba-tiba tercetus dikepalaku. "Tae, mau bacakan aku dongeng?"
Tae duduk dilengan kursi dan menatapku dengan dahi berkerut. "Uhm, memangnya kau mau dengar dongeng apa?"tanyanya lembut. Aku menarik napas perlahan. Entah bagaimana caranya menggambarkan, betapa tenangnya perasaanku saat mendengar suara lembutnya.
"uhm.. PeterPan?"usulku setelah berpikir beberapa saat. Hanya dongeng itu yang terpikir saat aku menatapnya.
Dia mulai tertawa pelan. "buat apa? Kau kan sudah hafal dongeng itu."
"tapi ada yang aku masih tidak mengerti,"ujarku mempertahankan pendapat.
Tae berdiri dari posisinya dan melangkah masuk ke kamar. Dia duduk dilantai, bersandar tepi tempat tidurku. Sesuatu terasa berputar didadaku saat dia menatapku dari ujung mtanya. "apa yang masih tidak kau mengerti?"
"uhm.. menurutmu PeterPan.. apa PeterPan suka pada Wendy?"tanyaku ragu.
Tae terdiam sejenak. Dia menggumamkan sesuatu, berusaha mencari jawaban. "uhm.. tidak tahu,"jawabnya setelah berpikir lama. "dia juga belum yakin soal itu."
Jawab Tae membuatku nyaris mengangkat kepala dari bantal. "kenapa? Bukannya Wendy itu cantik ya?"tanyaku, tak puas.
"karena dia punya Tink,"jawabnya cepat
~~~
"Tae,"panggilku pelan. "Bang PD-nim tadi memanggilku lagi."
"ada masalah lagi?"tanyanya sambil mengangkat wajah dengan cepat,khawatir.
Aku menggeleng pelan. "dia member tahuku bahwa.. manajemen memutuskan aku akan bergabung dengan proyek terbarunya. Aku bisa segera debut.. sebagai anggota girl group."
"girl group?" Tae mengulangnya dengan dahi berkerut. Persis seperti yang kulakukan tadi didepan PD-nim. "apa maksudnya, Tink? Kau masuk Big Hit karena ingin menjadi aktris bukan idol."
"ya, tapi mereka bilang itu akan menjadi batu loncatanku,"jelasku perlahan. "posisiku adalah sebagai visual. Nantinya, manajemen akan member banyak kesempatan kepadaku untuk bermain drama. Dengan cara itu, baik aku dan group akan semakin popular."
"apa-apaan itu? Apa menurut mereka kemampuan beraktingmu saja tidak cukup?"tanyanya dengan ekspresi yang semakin mengeras.
Aku menelan ludah perlahan. Aku tahu Tae akan semakin menentangnya nanti. "Tae, ada satu hal lagi,"
"Plastic surgery?!" seru Tae keras.
Aku mengangguk pelan dan menundukkan kepala. "tidak, Tink! Tidak! Apa mereka pikir kau boneka?"
"tapi Tae, karierku.."
Tae mendekatkan wajahnya dan menatapku lekat-lekat. Tatapannya yang tajam membuatku terdiam. "tidak ada yang salah dengan wajahmu. Kau bisa lolos audisi teater waktu itu. Kau juga bisa menjadi model MV BTS. Tidak ada yang salah dengan wajahmu."
"Tae, itu beda.."
"Tink!"sela Tae, membuatku kembali terbungkam. Tae semakin mendekatkan tubuhnya hingga aku tak dapat berkutik. "listen,Tink. Mata ini, hidung ini, dagu ini, pipi ini,"ujar Tae sambil menunjuk setiap bagian yang dia sebutkan. "don't let anyone touch them."
"wae?"tanyaku.
Tae menunjukan senyuman tipis. "They're so precious for me."
~~~
Tae menarik tangannya lepas dari genggamanku setelah kami mencapai salah satu koridor di gedung apartemen kami. Aku menatapnya dengan mata menyipit, tak dapat memahami apa yang baru saja dia lakukan. "Tae, kenapa kau seperti ini?" tanyaku dengan nada marah.
Alih-alih menjawab pertanyaanku, Tae justru memunggungiku, berjalan perlahan menjauh dariku. Aku masih bisa melihat pundaknya yang menegang dan langkahnya yang berat. "Tae,"panggilku lagi, kini dengan suara bergetar, menahan tangis.
Tae terus berjalan menuju pintu apartemennya. Akuhanya dapat melangkah pelan dibelakangnya, menatap Tae yang masih terus berusaha menjauh. "Kau sudah berbeda, Tink,"ucap Tae tiba-tiba.
"eh?"
"you're already grown up. It's nice,"lanjutnya, membuatku terdiam. Aku tak mengerti apa maksud ucapan itu. Aku tak dapat melihat wajahnya, aku tak dapat melihat tatapannya. Aku hanya mendengar suaranya dan aku tahu itu bukan pujian.
Perlahan, Tae membuka pintu apartemennya dan menghilang. Aku masih berdiri menatap pintu itu. Pintu yang biasa aku ketuk pada jam berapapun untuk melihat wajah Tae yang baru saja bangun tidur. Kakiku terasa bergetar dan semakin lemah. Aku mulai berjongkok dan menenggelamkan wajahku dibalik kedua lengan. Menangis seperti anak kecil. Anak kecil yang tersesat dan kehilangan ibunya.
~~~

Tbc

It's a Tale, So It's a LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang