Memory

168 21 1
                                    

Aku membenci waktu yang perlahan mengubah diriku dan Tae. Kami sekarang bahkan seperti orang asing. Tae yang kukenal lebih menyukai susu coklat hangat dibanding minuman keras. Tae yang kukenal lebih memilih permen strawberry daripada sebatang rokok. Tae yang kukenal, bukan Tae yang tengah bersandar dipundakku.
"oh,dengan siapa dia?bukankan dia dekat dengan Kim Seokjin?"bisik dua gadis muda yang barusaja berpapasan dengan kami. "ternyata, memang gadis yang suka menggoda laki-laki."
Tanpa aba-aba, Tae yang bersandar dipundakku terbangun dan melayangkan tinjunya kearah gadis itu.
"Aaaa!"gadis itu berteriak saat terjatuh ditanah.
"Tae!"teriakku lagi sambil menahan tubuh Tae yang terus berusaha menyerang gadis-gadis itu.
"pergilah,cepat!"serunya pada gadis-gadis itu. Mereka segera berlari menjauh secepat mungkin. Tubuh Tae masih sangat tegang. Aku memeluk lengannya erat-erat berusaha meredakan emosinya.
"Tae, mereka perempuan,"ujarku berusaha mengingatkan. Tubuh Tae masih terasa amat tegang. Dia menatapku dengan pandangan khawatir. Udara dingin tiba-tiba saja terasa terasa begitu menusuk tubuhku. Tanpa berpikir panjang, segera kulingkarkan kedua tangan disekitar tubuh Tae. Tubuh Tae yang tegang perlahan menenang. Aku menikmati angin yang berembus disekitar kami. Untuk kali ini saja. Mungkin saja ini pelukan terakhirku dengannya. Dengan lelaki yang amat kucintai, Tae.
~~~
Tanpa sadar, sebuah senyuman terukir diwajahku. Ya, semua yang terjadi bukanlah mimpi segalanya memang telah berubah perlahan hingga aku tak menyadari kapan itu dimulai. Sebelumnya, aku hanya gadis remaja biasa yang bermimpi menjadi aktris. Kini, aku berhasil berada diatas panggung bersama para kru, menerima penghargaan. Sebelumnya aku tak pernah membayangkan dapat tersenyum dengan nyaman bersama lelaki lain selain Tae. Namun kini Seokjin berhasil membuatku tak menepis tangannya.
Tiba-tiba, perhatianku teralih pada keramaian dipinggir jalan. Orang-orang berkerumun dengan mobil polisi yang ikut terparkir disana. "apa terjadi sesuatu?" tanya Seokjin penasaran.
Mataku tak dapat beralih dari kerumunan itu. Bahkan, aku berusaha sedikit berjingkat untuk mengetahui apa yang berada dibaliknya. Kedua mataku berhasil menangkap bahunya yang berlumuran darah. Mataku terbelalak. Tak tahu apa yang terjadi, tetapi jantungku tiba-tiba saja berdegup dengan amat cepat.
"Seokjin-ssi,hentikan mobilnya!" seruku panic. Seokjin menatapku heran. "cepat,aku ingin melihatnya. Tolong, Seokjin-ssi!"pintaku sebelum Seokjin sempat berkata apa-apa.
Aku segera berlari mendekat setelah keluar dari mobil. Kerumunan itu cukup padat, aku harus berusaha sedikit keras untuk menembusnya. Seketika, tubuhku melemas saat melihat sosok yang tergeletak diatas tandu. Darah masih mengalir dari dahinya. Sosok itu mengerang kesakitan sambil tah dapat melakukan apapun. Tubuhku membeku sesaat. Aku tak bisa melakukan apapun selain berharap semua yang kulihat hanya mimpi.
"Tae!" seruku sekeras yang kubisa, mencoba memanggil namanya.
~~~
"kami tidak bisa menjelaskannya secara detail karena masih dalam proses mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun, benturan yang terjadi membuat saraf dan pembuluh darah diotaknya terganggu. Namun, efek yang kita temukan, pasien mengalami distorsi memori."
"memori?"
"ya, pasien akan mengalami kemunduran daya ingat secara perlahan. Untuk saat ini, belum terlalu terlihat. Namun, memori jangka pendeknya mulai melemah. Sebenarnya, penyebabnya tidak hanya kecelakaan ini. Kami menemukan sebelumnya telah terdapat benturan keras dikepalanya sebelum kecelakaan ini. Benturan itu tidak tertangani dengan baik sehingga beberafa saraf sulit untuk pulih."
"tapi masih ada kemungkinan untuk sembuh, bukan?"
"kami akan mengusahakan hal itu, tapi kami belum bisa memastikan. Namun, melemahnya memori sudah ditunjukan sbelum kecelakaan ini, kecelakaan ini hanya memperparah kondisinya dan kemungkinan mempercepat kemunduran memorinya. Perlahan pasien dapat kehilangan memori jangka panjangnya. Itu artinya, suatu hari dia tidak akan ingat apapun."
Aku duduk dengan tangan mengepal. Sekujur tubuhku tegang. Penjelasan dokter yang tak pasti membuat seluruh tubuhku terasa lemas. Perutku bahkan berputar hingga membuatku mual, kepalaku terasa sakit seakan dihantam oleh batu besar. Bagaimanapun rasanya sulit untuk menerima apa yang telah terjadi.
"Tink.."suara lemah itu membuaku kembali mengangkat wajah dengan cepat. Kutemukan Tae yang menatap kearahku dan tersenyum tipis. "Tink, kenapa kau menangis?"tanyanya lirih.
Tanpa berpikir panjang aku segera memeluk tubuhnya. Tae merintih pelan, tubuhnya masih terlalu lemah untuk ku peluk erat. "Tink, kenapa aku ada disini? Memangnya aku kenapa?"tanyanya dengan nada bingung. "ah kecelakaan mobil itu?"ucapnya setelah berusaha mengingat.
Aku tak sanggup mengatakan kepada Tae, bahwa kecelakaan itu sama sekali tak melibatkan mobil. Kecelakaan itu melibatkan dua motor yang tengah elakukan balapan liar. Tae, bagaimana caranya aku mengatakan padamu, bahwa mungkin nantinya kau tidak akan mengingat apapun lagi?

"tinggalin aku, Tink,"ucapnya tiba-tiba sambil menghentikan langkahnya. Aku menatapnya lekat. Sama sekali tak mengambil langkah untuk meninggalkannya. "tinggalkan aku, Tink. Aku ingin sendiri dulu!"serunya keras.
"kau pikir aku bisa meninggalkanmu dalam keadaan seperti ini? Tidak akan, Tae,"ucapku berusaha melawan keinginannya. Aku benar-benar tak ingin meninggalkannya. Aku takut sekali saja aku pergi, aku tak akan pernah bisa kembali lagi kepelukannya. Dan aku tak mau itu terjadi.
Tae menarik napas dalam-dalam. Kulihat bahunya bergetar dan bahunya semakin lemah. Segalanya akan lebih berat nantinya, dan pada saat itu aku juga ingin melangkah disamping Tae. Seandainya nanti Tae tak mampu lagi mengingat apapun, aku akan tetap berada disampingnya, dan tak bosan menceritakan apa yang telah terjadi kepadanya. Aku akan menyimpan segala memori Tae. Aku aka terus menjaganya.
Malam itu, aku tertidur dipinggir ranjangnya. Tanganku menggenggam tangannya dengan sangat erat. Aku tak ingin dunia yang berubah membuat kami berpisah. Aku ingin terus bersamanya. Bersama Tae.

"Tae, aku bawain kamu... Tae!" aku berteriak panic saat melihat Tae sedang membentur-benturkan kepalanya ditembok sebelah ranjangnya. Aku segera berlari kearahnya dan berusaha menahan tubuhnya. Tae masih berusaha membenturkan kepalanya. Aku melihat wajahnya basah oleh keringat dan airmata.
Tae mengerang saat aku menarik tubuhnya. Aku segera memeluknya erat, berusaha menahannya. "aku tidak bisa mengingatnya. Kenapa aku tidak bisa mengingatnya? Aku harus ingat. Aku harus ingat,"gumamnya berkali-kali disela tangisnya.
"jangan Tae! Kau tidak harus memaksakan diri,"ucapku berusaha menekan tombol panggilan dokter.
Tae berusaha menolakku dan membenturkan kembali kepalanya. "jangan Tae! Jangan! Aku mohon, jangan. Berhenti Tae,"ucapku sambil menangis dipundaknya.
Tae menangis keras. Dia menenggelamkan wajahnya dalam pelukanku. Dia terisak keras. Tangisan yang sama saat Tae menangis diam-diam saat pemakaman ibunya. Tangisan yang sama yang membuatku mengadari bahwa Tae hanyalah manusia biasa. "aku tidak bisa mengingatnya, Tink. Aku tidak bisa,"gumamnya tanpa henti. "aku tidak bisa mengingat bagaimana kita bertemu."
Tubuhku membeku saat mendengar ucapannya. Pertemuan pertama itu. Aku masih mengingatnya dengan jelas. Bagaimana Tae muncul dan memotretku tiba-tiba, aku masih merekam segalanya dalam otakku. Aku melempaskan pelukanku dan menatapnya.
~~~

Tbc

It's a Tale, So It's a LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang