Hurt -Calista-

46.8K 1.9K 49
                                    

Udara panas Jakarta langsung menyambutku saat turun dari pesawat. Cukup lama aku meninggalkan kota kelahiranku ini. Namun tidak ada perasaran rindu untuk kembali ke tanah air. Bukan karena tingkat kepadatan penduduknya yang terus meningkat dari tahun ke tahun, bukan juga karena tingkat polusi yang semakin memprihatinkan. Aku memiliki beberapa alasan yang membuatku tak ingin lagi kembali ke kota ini.

Aku memakai kacamata hitam untuk menghindari para paparazzi yang mungkin sudah berkumpul menungguku. Meski aku tahu, kacamata yang kupakai tidak akan berguna untuk menghindar dari mereka. Tapi setidaknya, para pencari berita itu tak melihat lingkaran hitam yang menghiasi mataku.

Tebakanku benar. Sudah banyak yang berkumpul dengan kamera dan alat perekam suara di tangan mereka. Mereka dengan mudah mengenaliku. Mendekat dan membuatku kesulitan berjalan keluar.

"Calista. Bagaimana perasaan Anda bisa tampil dalam fashion show itu?"

"Calista.. Apa tanggapan Anda karena dipercaya membawakan rancangan designer dunia?"

"Calista.."

"Calista.."

"Calista.."

Aku hanya menggumamkan kata maaf dan permisi. Meskipun sudah ada dua bodyguard yang melindungiku, tetap saja jumlah mereka tak sebanding dengan jumlah para pencari berita ini.

"Welcome back to Indonesia, Sweety."

Aku mencebik kesal, tetapi tetap masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh laki-laki yang barusan menyapaku.

Namanya Varen, manajerku selama lima tahun terakhir. Varen merupakan salah satu asisten Mama yang tugasnya mendampingiku saat Mama tidak bisa hadir. Semua kegiatan dan jadwalku masih dikelola Mama. Andai bisa memilih, aku lebih menyukai bekerja dengan Varen tanpa campur tangan ibuku.

"Jangan lupakan seatbelt-mu, Sweety." Varen tersenyum setelah aku menuruti ucapannya.

Varen adalah pria tampan. Sangat tampan malah. Usianya tak terpaut jauh denganku, hanya berbeda enam tahun. Aku selalu nyaman berada di dekatnya. Varen juga sering kujadikan sandaran saat aku membutuhkan tempat curhat. Karena hanya dia satu-satunya teman yang aku miliki. Bisa saja jatuh cinta kepadanya, jika saja orientasi seksualnya tidak menyimpang.

"Langsung pulang ke rumah?" tanyanya padaku.

"Adakah pilihan lain selain tempat itu?" tanyaku balik dengan setengah mencebik. "Kalau ada, kamu boleh bawa aku ke mana aja, asal bukan ke tempat terkutuk itu."

Varen tertawa kecil mendengarnya. Namun tak kuhiraukan.

Orang lain mungkin akan menatap heran, atau bahkan menghujatku jika mendengar apa yang baru saja kukatakan. Tetapi hal yang sama tidak berlaku pada Varen. Telinganya sudah terbiasa mendengarku memaki atau mengumpati segala sesuatu yang berkaitan dengan kediaman orang tuaku itu.

"Jangan ditekuk gitu dong mukanya."

"Kamu yang mancing emosiku."

Varen hanya tersenyum menanggapi. Senyum menawan yang mampu membuat wanita di luar sana bertekuk lutut di hadapannya.

"Nggak usah senyum-senyum gitu. Percuma juga," protesku.

Dia masih tetap menatapku sambil memberikan senyum mautnya.

"VAREN!" teriakku kesal.

"Ok, ok."

"Jam berapa pemotretan hari ini?" tanyaku lalu memalingkan wajah ke luar jendela.

CalistaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang