Morning Glory

155 18 11
                                    

Musim Semi, 19 Februari 2010

Aku mengumpulkan semua keberanianku untuk mengatakan hal ini padanya. Hari ini, aku akan mengatakan apa yang kurasakan padanya. Selama ini, selama sembilan tahun -seingatku, lima kali bertemu, kami sudah bersahabat. Walau tidak bertemu sehari-harinya, kami tetap berkirim surat.

Menceritakan apa yang masing-masing kami alami. Saling berbagi suka dan duka, juga membagi masalah yang kami hadapi bersama.

Oke, cukup berbicaranya.

Aku menggenggam seikat bunga. Bunga berwarna pink keunguan, bunga yang kutahu dari penjualnya bernama morning glory. Bunga yang kutahu artinya -dari internet, berarti janji yang dipegang teguh. Kali ini, biarlah aku yang memberinya bunga.

Ya, aku memang hendak berjanji dengannya. Selain ingin menyatakan perasaanku, aku ingin bilang padanya jika aku akan pergi ke Inggris; untuk berkuliah. Tepatnya, di Oxford University. Aku berkuliah disana dari biaya orang tua, melainkan karena mendapat beasiswa. Oh, how lucky i am.

Karena itu, mungkin aku baru akan kembali ke New York tiga atau tempat tahun lagi. Aku ingin membuat janji dengannya. Janji yang akan kupegang teguh, dan tak akan pernah kuingkari. Janji yang berisi aku akan tetap mencintainya walau berbeda milyaran radius.

***

Aku berjalan melalui setapak baru yang hampir sudah tak bisa kukenali. Setapak yang tiga tahun yang lalu masih baru di paving, sekarang sudah di aspal dengan mulusnya. Dan entah perasaanku saja atau bagaimana, jalannya telah menjadi lebih lebar dan cukup untuk dilalui kendaraan roda empat. Kalau begitu, aku membawa mobil saja tadi.

Tak ada yang kuingat dari jalan setapak ini. Semuanya benar-benar berubah. Pohon-pohon yang biasanya ada di pinggir jalan, sudah hilang, entah kemana.  Tak ada rerumputan liar yang biasa menghiasi pinggir jalan. Hanya ada aspal hitam yang nampak  baru.

Aku sampai.

Dan, aku dikejutkan sesuatu.

Bukit dengan pohon besar itu tak ada. Yang ada hanya sekomplek toko-toko modern yang terlihat di depan mataku. Bukit kehijauan dengan pohon tua besar itu tak ada. Sepeda yang bersandar, juga seorang gadis yang melukis juga tak terlihat.

Hanya ada banyaknya orang yang belalu-lalang di depanku. Mendatangi satu per satu toko yang mereka inginkan.

Lalu, dimana Cheryl sekarang?

Aku berpikir keras. Pandanganku tertunduk ke bawah, memperhatikan sepatu yang kupakai dan tanah yang kuinjak. Bayang-bayanganku tentang Cheryl yang menyambutku kembali muncul di benakku. Satu tempat terpikir olehku, rumahnya.

Kenapa aku bodoh sekali? Sudah pasti dia di rumahnya, bukan? Dasar bodoh! Padahal aku sudah berumur sembilan belas tahun.

***

Aku kembali ke rumah nenek. Pamit kepada nenek, berkata jika aku akan berangkat ke bandara, padahal bukan itu kenyataannya. Aku hanya ingin pergi ke rumah Cheryl, hanya itu. 

Aku masuk ke dalam mobilku. Menaruh seikat bunga yang sejak tadi kupegang di tempat duduk di sampingku, kemudian menyalakan mobil dan melajukannya. 

Jujur, aku merasa sedikit asing dengan jalan beraspal hitam yang baru ini. Aku jadi merasa seperti tak pernah datang kesini, seperti pendatang baru. Aku merasa aneh dengan semua ini. Entah kenapa, aku jadi merindukan ladang gandum yang biasa menjadi saksi bisu antara aku dan Cheryl yang kini telah menjadi permukiman penduduk.

Aku sampai.

Di depan sebuah toko bunga yang penampakannya masih sama seperti dulu. Tak berubah. Tak ada yang terganti.

Fleurs de Cheryl [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang