Lagu No Money dari Galantis berdering di sebuah kamar apartemen. Jam alarm pun juga berbunyi.
Dengan terpaksa, perempuan itu membuka matanya. Rasanya, seperti matanya diberi lem perekat, sangat sulit dibuka.
Matanya terbuka. Berusaha beradaptasi dengan cahaya sinar matahari yang masuk lewat celah-celah jendelanya.
"Jam berapa ini?!" Jeritnya karena kaget melihat keadaan di luar kamar apartemen-nya sudah terang. Ia melirik jam, jarum panjang menunjuk angka tujuh dan jarum pendek menunjuk angka enam.
"Aku telat!
Dengan tergesa-gesa, ia menyingkap selimutnya dan menyambar handuk. Kemudian masuk kamar mandi untuk mandi.
Hari ini adalah hari pertamanya bekerja. Dan tepat sebelum ia mulai bekerja, ia harus menemui CEO perusahaan tempatnya bekerja. Katanya, itu sudah peraturan dari perusahaan.
Dan sekarang ia tahu, kalau ia pasti akan dipecat di hari pertamanya karena terlambat!
30 menit kemudian, ia selesai melakukan ritual paginya. Setelan baju kerja berwarna putih dan blazer hitam menemaninya pagi ini. Tak lupa dengan sepatu warna hitam ber-hak 5 cm.
Tanpa membuang-buang waktu lagi, ia mengambil sepotong roti kemudian keluar dari kamarnya, mengunci kamar lalu berlari menuju lift.
Sepertinya, dewi fortuna sedang tidak berpihak padanya. Sedari tadi, taksi yang ia tumpangi terjebak macet. Padahal, kantornya tinggal sedikit lagi sampai.
"Pak, saya berhenti disini aja. Lagian udah deket, kok," ucapnya sambil memberi uang ongkosnya.
"Maaf ya, Mbak. Jalannya macet," kata Pak Ardi, bapak yang menyupir taksi yang ditumpanginya.
Ia mengangguk singkat dan tersenyum, lalu membuka pintu taksi dan turun.
"Hosh... Hosh... Hosh..."
Ia mengatur nafasnya. Sekarang sudah pukul setengah sembilan, dan ia baru sampai di kantornya. Ia telat satu jam.
"Permisi, saya karyawan baru disini. Dimana ruangan CEO?" Tanyanya pada resepsionis kantor itu.
"Lantai 12."
Tanpa menunggu lama, ia berlari menuju lift. Masuk ke dalam lift dan memencet angka 12.
Ting!
Pintu lift terbuka. Ia keluar dari lift dan berjalan menuju meja sekretaris. Ia rasa, itu meja sekretaris dari CEO perusahaan ini.
"Saya, Arra. Apa ini ruang CEO?" Tanyanya sambil melirik name tag wanita yang ada di depanya. Namanya Kena.
"Silahkan masuk, Pak Brian sudah menunggu."
Arra mengangguk. Ia mengetuk pintu kayu di depannya. Setelah ada suara yang menyahut, ia pun masuk ke ruangan itu.
Entah kenapa, ia merasa familiar dengan wangi ruangan itu. Ruangan yang didominasi warna abu-abu dan hitam. Wanginya seperti aroma musk khas pria, namun membuatnya nyaman.
Ia berdiri di depan meja. Tepat di belakang meja, ada sebuah kursi yang membelakanginya.
"Selamat pagi, Pak. Saya minta maaf karena sudah terlambat di hari pertama saya bekerja," ucapnya takut-takut.
"Perkenalkan siapa dirimu." Suara dingin itu membuat bulu kuduk Arra berdiri. Siapa orang yang membelakanginya ini? Manusia atau hantu?
"Saya, Cherylianza Arrabelle. Saya dari kota kecil di New York. Mulai hari ini, saya akan bekerja di perusahaan bapak, Leonard Corps, sebagai divisi pemasaran."
Laki-laki itu berbalik. Membuat wajah Arra terkejut.
"Perkenalkan, saya atasanmu. Alex Brian Leonard, Cheryl."
Hari itu, ia merasa mendapat serangan jantung mendadak. Karena ia, bertemu kembali dengan sahabat masa kecilnya.
Alex kecil yang imut dan tampan, yang selalu ia sukai.
Bahkan sampai saat ini.
----------
Udah. Kali ini bener-bener end. Aku bikin ini aja udah bingung bagus apa nggaknya.Dan aku tahu, part ini pendek plus nggak banget! Ancur(:"
Udah ya, saatnya kalian berpisah dengan Alex-Cheryl alias Aleryl. Bye-bye!
KAMU SEDANG MEMBACA
Fleurs de Cheryl [End]
Teen FictionCover by : adindputri " When the flower that she gave, have meaning something that I never know it before. " Short-Story ----- • Fleurs de Cheryl • (29 Juni 2016)