"Irene," tanya Ibu Ratih lembut, walau aku masih dapat menangkap ketegasan dalam nada bicara wali kelasku itu. "Apa sih, kesulitanmu selama berada di kelas 8 ini? Kok, kalau Ibu perhatiin, nilai kamu menurun jika dibandingkan dengan waktu di kelas 7?"
Di depan Ibu Ratih, aku hanya bisa menunduk malu sambil menatap angka 58 yang tercetak dalam tinta merah di kertas ulangan IPA-ku. Nilai hasil remedial, yang entah kenapa menurun dari nilai sebelumnya--63. Belakangan ini, pelajaran di sekolah entah kenapa memang sulit sekali untuk kucerna.
"Padahal tahun lalu kamu juara kelas, lho." Aku mengangguk pelan. Aku dapat merasakan pipiku memerah karena malu. "Mungkin kamu ada masalah di rumah, jadi kamu nggak bisa konsen ke pelajaran?"
Aku menggeleng. Sama sekali nggak ada masalah dalam keluargaku, se-enggaknya nggak ada yang membuatku sampai kepikiran. Kedua orangtuaku masih akur, dan hubunganku dengan mereka juga masih baik seperti biasa.
Masalah menurunnya nilaiku ini cuma karena aku nggak ngerti materi yang disampaikan, itu saja.
"Mungkin kamu perlu di-tutor?"
Begitu aku mendengar kata ditutor, aku langsung terbelalak. Spontan, sambil setengah berteriak, aku berkata, "Jangan, Bu! Kasih aja Irin tugas tambahan, remedial, atau apalah--Irin rela kok kalo mesti ngebersihin WC juga--asal jangan di-tutor!"
Pasalnya, di sekolahku, kalau kamu sampai di-tutor oleh teman sekelasmu, berarti nilai-nilaimu memang sudah nggak tertolong lagi. Biasanya anak yang di-tutor merupakan tipe-tipe anak yang nyaris tinggal kelas dan semacamnya.
Mau disimpan di mana mukaku kalau Irene Pandanarwan yang nggak pernah turun dari ranking lima besar sampai di-tutor?
Sambil geleng-geleng kepala melihat reaksiku yang (mungkin) berlebihan, Ibu Ratih berkata, "Sayangnya nggak ada cara lain, Irene. Mulai besok, kamu akan di-tutor sama Andrew."
Mendengar nama salah satu teman sekelasku itu disebut, aku kembali berteriak, "Bu! KENAPA HARUS ANAK ITU, SIH, YANG JADI TUTOR SAYA?" sambil membanting meja Ibu Ratih untuk efek dramatis.
***
Maksudku, kalau kamu mengenal Andrew Wicaksono Gandaria, kamu pasti mengerti kenapa aku sebegitu nggak maunya di-tutor olehnya.
Oke, harus kuakui, dia pintar--kejeniusan bapaknya yang merupakan seorang dosen memang menurun ke dia. Namun, di sisi lain, anak itu juga sangat gila dan "petakilan", kalau mau meminjam istilah yang sering digunakan Mama.
Baru saja kemarin Andrew membuat Lydia, teman sekelas kami yang lain, menangis lantaran anak itu iseng memasukkan tikus yang dipungut dari got sekolah ke dalam tasnya.
Which is why aku malas banget jika harus bertemu dengannya sepulang sekolah untuk membicarakan perihal tutor-tutoran ini.
Dengan langkah gontai, aku menghampiri Andrew, yang sedang menari-nari bareng teman-temannya sambil mengayun-ayunkan lightstick di lapangan sepulang sekolah.
"Drew!"
"I WANT YOU~ I NEED YOU~ I LOVE YOU~ DI DALAM BENAKKU~ KERAS BERBUNYI IRAMA MYU-U-JI-I-KU~"
"ANDREW!"
"HEAVY ROTATION!"
"
WOY, ANDREW GARFIELD!"
Begitu ia mendengarku (dengan sangat terpaksa) memanggilnya "Andrew Garfield", Andrew langsung mematikan lagu yang ia putar di stereo dan berjalan menghampiriku.
"Kenapa, Rin?" tanya Andrew sambil tersenyum lebar. "Mau ikut latihan nge-chant bareng gue?"
Aku mendengus kesal. "Mau lo latihan nge-chant sampe jago juga Nabilah tetep nggak bakalan mau sama lo, Drew," jawabku. "Anu. Kata Ibu Ratih, gue harus di-tutor sama lo."
Andrew mengangkat alisnya. "Ngapain lo di-tutor? Lo kan pinter."
Aku mengangkat bahuku. "Tau tuh, si Ratih," kataku. "Gue juga males sih, sebenernya, berurusan sama lo. Tapi, ya, mau nggak mau."
Karena nggak mau berbicara dengan Andrew lebih lama lagi, aku berjalan pergi. Namun, Andrew langsung mencegatku.
"Tunggu."
"Apa? Mau ngajak gue nge-chant nggak jelas lagi?"
"Kagak, elah," jawab Andrew. "Gue mau, kok, ngajarin lo. Asal ada syaratnya."
"Yaitu?"
"Traktir gue KFC delivery, dong."
A/N: apparently ada salah satu adek kelas gue yang mirip troye sivan.
buat yang kangen segala kealayan andrew yang menajiskan selama dia video chat sama irin, nunggu dulu sampai part berikutnya, ya. untuk sementara kita flesbek dulu ke masa-masa smp mereka yang penuh kenangan memalukan :"
(tbh entah kenapa menurut gue bikin part-part narasi ini lebih susah dibandingkan bikin percakapan, tapi biarlah.)
(p.s. kalo ada fans jkt48 yang baca, cerita ini nggak bermaksud untuk menyinggung kalian kok ^^ cerita ini gue bikin buat menghibur dan pada dasarnya memang enggak serius so jangan terlalu dimasukkin ke hati juga wkwk)
KAMU SEDANG MEMBACA
Video Chats
Historia Corta"Met malam, Sayang." "Sayang? Drew, kita kan...udah putus. Dari kapan tau." "Eh, sorry. Kepencet. Eh, BTW, like foto baru gue di Instagram, dong." © 2016 by Hilly Ecclesiana. All rights reserved. #3 in short story (12/21/16)