Theo mencoba sekeras mungkin untuk dekat dengan Ryu. Orang yang benar-benar jahat tidak akan mengatakan seperti itu. Ryu memberikan peringatan yang harus Theo patuhi, meski itu artinya Theo tidak suka dengan cara lelaki itu menolak. Ryu selalu menjadikan alasan profesi terhadapnya. Theo iri dengan Taiga, yang bebas berteman dengan Ryu meski tahu kalau lelaki itu dari kalangan yang berbahaya. Theo ingin sekali menjadi teman Ryu dalam arti yang sebenarnya. Jadi teman ngobrol, bercerita, dan berbagi.
Untuk pertama kalinya Theo merasa seperti ini.
Dulu dia tidak terlalu mengidamkan sebuah pertemanan. Sekarang berbeda. Tidak pernah dia bertemu dengan orang yang senasib dengannya. Sama-sama kesepian. Sendirian. Lelah. Hampir menyerah.
"Pulanglah!" Ryu memijat ujung hidungnya. Theo masih mencengkeram baju Ryu, enggan melepaskan lelaki yang baru saja pulang dari rumah sakit itu.
"Ryu-sama... saya akan membuatkan Anda kopi setiap pagi." Theo tahu betapa mencandunya Ryu terhadap kopi buatannya. Ryu menggeleng pelan.
"Tidak."
"Saya ingin sekali berteman dengan Anda."
"Aku tidak butuh teman, Theo. Aku hanya butuh uang, kekuasaan, kesetiaan..."
"Saya bisa setia ketika jadi teman Anda."
Lagi-lagi Ryu menggeleng. Beberapa anak buahnya sudah berbaris rapi di belakangnya. Ryu tersenyum penuh misteri, menepuk bahu Theo sejenak. Ia benci dengan tatapan Ryu yang sekarang.
Ryu pun sama.
Dia benci dengan cara Theo menatapnya. Theo seperti sedang mengasihaninya. Ryu benci sekali dengan perlakuan serupa. Lagipula, tidak ada keuntungan yang Theo dapatkan kalau berteman dengan Ryu. Mungkin orang lain bisa menjadi penjilat bagi Ryu, tetapi Theo tidak. Dia tidak memiliki niat untuk itu. Ryu tahu kalau Theo hanya terlalu naif. Dia mengandaikan persamaan nasib hingga ingin bekerja sama untuk menciptakan sebuah perlawanan hidup. Ryu tidak suka cara Theo meresponnya.
"Katakan, kenapa kau ingin jadi temanku? Semua rayuanmu klise sekali, Theo!" Ryu berdecih meremehkan. Theo menelan ludah bingung. Dia sendiri tidak tahu apa yang seharusnya dia ucapkan sekarang. Rasa itu muncul begitu saja.
Theo ingin jadi teman Ryu. Sebuah keinginan paling naif yang pernah muncul di hidupnya. Theo bisa saja pamer pada Yogi kalau dia punya teman sekelas mafia. Yogi, si tukang gosip itu pasti akan segera menyebarkan berita tersebut pada seluruh pegawai.
Namun sejatinya bukan itu yang Theo inginkan.
"Karena kita sama..." Theo berbisik pelan. Setelahnya lelaki itu mendongak sambil tersenyum. "Tetapi, alasan utamanya karena saya ingin. Saya ingin jadi teman Ryu-sama. Tidak ada alasan lain karena saya ingin berteman. Tidak ada alasan."
Ryu menatap wajah Theo tajam. Jemarinya menggusak kepala Theo, sementara sebelah tangannya mengangkat dagu lelaki kriwil itu. Mata bulat milik lelaki asing itu mengerjap sebentar. Bola matanya begitu bening, mengedip beberapa kali. Bahkan hanya dari mata saja mereka berbeda. Ryu bermata sipit, Theo punya mata bulat besar seperti... kucing.
Itu salah satu alasan kalau mereka tidak bisa berteman.
"Kita berbeda, dan selamanya akan tetap seperti itu." Mata Ryu menatap Theo tajam. Theo menelan ludahnya, namun beberapa saat kemudian sebuah senyuman muncul dari bibirnya. Ryu bungkam.
Bibir itu juga berbeda darinya.
Bibir itu terlihat aneh ketika tertarik ke samping. Apalagi ketika si kriwil tersenyum. Ryu tidak suka melihatnya. Tetapi... gemas dalam waktu bersamaan. Ryu tidak tahu kenapa, namun... dia tidak ingin Theo terluka. Berteman dengannya membawa resiko.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Of Yakuza
AksiSelama sekian tahun hidupnya, jadi barista adalah pekerjaan paling nyaman yang pernah Theo lakukan. Tetapi, pekerjaan itu harus berakhir karena ibunya mengajaknya pindah. Theo harus pindah ke Jepang, tinggal bersama ibu dan juga suami barunya. Untuk...