Theo melongo. Dalam beberapa detik kesabarannya terkikis habis. Sementara itu, matanya menyipit. Mengawasi. Gerombolan mencurigakan itu masih di sana, menunggu di sebuah jalan sempit. Wajah mereka garang dan juga marah. Salah seorang dari mereka yang memiliki embel-embel –sama sedang duduk manis di atas sebuah kursi lipat. Matanya menyipit malas, di antara jari telunjuk dan tengahnya terselip rokok yang sedang mengebulkan asap.
Kalau saja ini bukan jalan pulang satu-satunya, mungkin dia sudah kabur sejak tadi. Theo bisa segera pergi sebenarnya, namun ia tidak melakukan itu. Penasaran sudah menguasainya lebih dulu. Satu orang terlempar ke arah Ryu setelah itu. Orang itu babak belur, berdarah, dan merangkak bersujud di kakinya.
Theo merinding.
Pergi, Theo! Pergi! Ketika hatinya mengatakan itu, otaknya enggan bekerja. Dia tidak bergeming dari sana. Tubuhnya menempel di tembok, sementara matanya mengintip takut. Dia ingin pergi, tetapi kakinya enggan beranjak dari sana.
Theo tidak mengerti apa yang mereka bicarakan, namun rekaman kejadian itu sudah dia simpan di otaknya. Awalnya lelaki babak belur itu berteriak sambil menangis. Lalu Ryu tersenyum geli, terbahak kencang. Dia menendang rusuk lelaki itu lagi. Brutal dan penuh kemarahan.
Lamat-lamat Theo mendengar Ryu bicara soal otou-san dan sejenisnya. Ryu tahu itu artinya Ayah. Theo kecil selalu memanggil ayahnya seperti itu. Mata Theo kembali mengawasi, hingga akhirnya Ryu mengeluarkan sesuatu dari balik jaket tebalnya. Sebuah pistol. Theo menegang di tempatnya.
Tidak! Tidak!
Namun terlambat. Pistol itu terarah pada kepala si lelaki babak belur tadi. Theo melotot, tak bergerak. Suara pistol itu tidak sekencang yang biasa dia lihat di televisi. Entah apa yang mereka lakukan pada pistol itu Theo tidak tahu. Yang jelas, lelaki babak belur itu sudah tergeletak bersimbah darah.
"Hmpphh..." Theo ingin berteriak saat itu juga, namun dia sadar apa yang akan terjadi kalau dia melakukannya. Telapak tangannya membekap mulutnya sendiri. Tubuhnya gemetar. Ini pertama kalinya dia melihat pembunuhan di depan matanya langsung.
Larilah, Theo! Lari! Sebelum mereka mengejarmu lalu membunuhmu. Kau adalah saksi dari perbuatan mereka, jadi tidak mungkin mereka melepaskanmu semudah itu. Lari! Lari!
Theo bergerak gusar, lalu berlari kencang. Suara derap langkah terdengar di belakangnya. Mereka mengejar! Theo mempercepat langkahnya, berlari dan terus berlari. Dia sampai di cafenya lagi. Napasnya habis. Tubuhnya terengah-engah tak berdaya. Dalam beberapa detik, tubuhnya limbung. Theo pingsan.
***
Seharusnya tidak sesulit ini. Seharusnya Theo tidak berurusan lagi dengan mereka. Awalnya dia tidak tahu seberapa berbahayanya mereka. Theo kira Yakuza adalah segerombolan preman yang suka menarik iuran keamanan dan sejenisnya. Kegiatannya hanya bertengkar dan juga menguasai wilayah. Polisi akan menangkap mereka saat itu. Tetapi, ternyata tidak semudah dan sesederhana itu. Para Yakuza itu masih berkeliaran, masih tertawa tanpa beban.
Juga masih berkunjung ke club malam tempatnya bekerja.
Theo masih gemetar tiap kali mengingat kejadian kemarin. Dia ditemukan pingsan di teras club. Managernya membawa ia masuk setelah itu dan bertanya apa yang terjadi. Tetapi Theo bungkam. Dia pulang setelah itu, kembali ke kosnya dan memejamkan mata meski sulit sekali. Akhirnya dia berangkat lebih awal daripada sebelumnya hanya untuk menghindari kejadian serupa. Meskipun dia tidak tahu bagaimana caranya pulang nanti.
"Apa kau baik-baik saja?" Managernya masih menghampiri Theo sesekali. "Pulanglah kalau memang sakit. Aku akan beritahu ibumu."
Theo menggeleng kencang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Secret Of Yakuza
AçãoSelama sekian tahun hidupnya, jadi barista adalah pekerjaan paling nyaman yang pernah Theo lakukan. Tetapi, pekerjaan itu harus berakhir karena ibunya mengajaknya pindah. Theo harus pindah ke Jepang, tinggal bersama ibu dan juga suami barunya. Untuk...