Bag 22: "Sometime being understanding is more important than being right. Sometime we need not a brilliant mind that speaks but a patient heart that listens. Not keen eyes that always see faults but open arms that accept. Not a finger that points out mistake but gentle hands that lead." (Anonim)
Juan bercermin lagi entah kenapa tapi sepertinya dia perlu tampil sempurna hari ini. Dia tau Sahla akan datang ke konser nanti, mungkin itu alasan utamanya. Hanya satu hal yang akan menghambatnya hari ini. Ia menghembuskan napasnya berat, ayahnya tentunya tidak akan melepaskan konsernya begitu saja.
Juan keluar dari kamarnya, sambil memasang jam tangannya, ia berjalan ke arah pintu. Sepatunya seakan menggema di rumahnya yang lagi-lagi sepi. Lagipula ayahnya pasti masih di ruang kerja, mengingat Ricky tidak ke kantor pagi tadi. Tapi ternyata perkiraannya meleset. Suara tua itu tiba-tiba membangun dinding di depan Juan.
"Jangan bilang kau masih bergabung dengan band bodohmu itu?" Itulah kalimat pembukanya.
"Tidak sekarang pa, aku sedang buru-buru," kata Juan tetap melanjutkan jalannya. Diluar dugaan Ricky membiarkan Juan berjalan ke arah pintu, walau seharusnya Juan merasa aneh dengan hal itu tapi ia tetap melajukan langkahnya, berusaha santai. Ia masih bisa menangkap sikap tenang Ricky, sedang ayahnya itu masih menempel pada sisi tembok dan tangan yang terlipat didepan dadanya, memperhatikan. Juan menatap lurus ke arah pintu yang masih tertutup rapat kemudian berhenti. "Mana kuncinya?" Tanya Juan dingin.
"Tidak ada kunci, sebaiknya kau kembali ke kamarmu, cuci tangan dan kakimu kemudian tidur. Kurasa itu lebih baik," kata Ricky mencoba menahan senyum lebar dari bibirnya.
"Ini masih jam lima," kata Juan menahan agar tak berteriak, ia berbalik.
"Tentu saja!" kata Ricky berbahagia, mengangkat ke dua tangannya ke udara seakan ia memperoleh berkah, Juan mengepalkan tangannya erat-erat.
"Aku sedang tidak ingin bertengkar sekarang, aku harus segera pergi," kata Juan akhirnya.
"Aku tidak melarangmu untuk pergi, keluarlah," kata Ricky masih tenang, sedikit bergerak hingga punggungnya sepenuhnya menempel dengan nyaman.
"Berikan kunci pintunya."
"Ku pikir kau akan bersikeras membuka pintunya tanpa meminta bantuanku," kata Ricky di sela tawanya. Juan benar-benar berharap laki-laki itu tersedak. Katakan saja dia durhaka, bahkan dia sudah tidak ingat lagi arti durhaka itu sendiri.
"Tidak sekarang, okey?" kata Juan.
"Mintalah dengan baik-baik," kata Ricky dan Juan menggertakan giginya. Seharusnya tidak sulit, kan? ini hanya sekedar meminta dari anak kepada orang tua. Tapi Juan beku seakan harga dirinya yang dulu selalu ia bangun berusaha di injak-injak oleh ayahnya sendiri, membuatnya ingin mengamuk saja. Tapi jika mengingat waktu yang tengah berjalan searah dengan getaran yang di berikan arloginya itu, ia harus menanggalkan pakaiannya sekarang di depan ayahnya, tentu saja itu berarti membuang egonya yang setinggi langit.
"Pa, dapatkah aku meminta kunci pintunya?" tanya Juan mencoba lembut.
"Ayolah Juan, tidak sekaku itu, mendekatlah dan biarkan papa mengelus kepalamu," kata Ricky masih dengan posisi yang sama, Juan tampak sedikit tersentak, ia menggelengkan kepalanya tidak percaya bahwa ayahnya malah mempermainkannya seperti ini.
Padahal sebentar lagi konser besarnya sepanjang sejarah akan berlangsung. Mungkin memang benar bahwa ayah dan anak ini tak akan pernah sejalan. Juan menatap Ricky lebih lama dan tatapannya berubah dingin.
"Jangan tatap aku seperti itu," kata Ricky. Juan melunakkan tatapannya itu, jika bukan karena konsernya, teman-temannya, juga tentu saja Sahla, ia tak akan mau meluangkan sedikit pun waktu untuk basa basi dengan ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Lovely Maid
Teen Fiction(COMPLETE) "Untuk pelayanan sesungguhnya, kau tidak perlu membayar" Sahla harus tetap mempertahankannya, sebagai pelayan kafe untuk membiayai kehidupan keluarganya. Di samping ia adalah murid teladan sebuah sekolah elit, keempat sahabatnya tidak bo...