"Ini dari siapa sih?" aku menggerutu tak jelas.
Bagaimana aku tidak menggerutu, ada seseorang yang dengan sengaja memberiku sebatang coklat setiap hari dengan bungkus yang ... Ah, sudahlah.
Setiap pagi aku selalu mendapat coklat ini di loker mejaku. Sudah dari seminggu yang lalu. Aku tahu ini coklat yang cukup langka dan mahal.Tapi yang jelas, aku tidak pernah ikut memakannya.
"Dapet coklat lagi, Nur?"
Aki menoleh saat ada yang duduk tepat di sebelahku. "Iya, Sa. Sebel banget gue kalau gini." ucapku kesal.
Asa tertawa. "Kok malah sebel sih? Malah seharusnya seneng 'kan kalau punya secret admirer gini. Gue pengen banget malah." ucapnya penuh dramatis.
Gue mendengus kesal, lalu memberikan coklatku padanya. "Kalau lo ngalamin hal yang sama pasti bakalan tau rasanya. Nih, gue Kasih coklat buat jomblo seperti lo."
"Enak aja ngatain gue jomblooo. Gue ga jomblo, cuman emang pegang prinsip untuk gak pacaran dulu." ucap Asa.
Aku hanya memutar mata malas saat dia sudah membahas tentang prinsipnya tidak berpacaran. Tapi tetap saja akan senang jika mendapat hadiah seperti diriku saat ini.
"Gini ya, Sa. Lo mungkin saat ini bisa bilang kalau punya secret admirer itu keren, tapi saat lo di posisi dia, lo bakal tau rasanya menyukai diam-diam itu endingnya menyakitkan." gue menepuk bahu Asa pelan.
Asa hanya mengangkat bahu sekilas sebagai jawaban. Masih sibuk dengan coklat yang menggunakan bungkus kado bermotif abstrak.
Aku suka motif kertas yang abstrak dari cipratan cat yang beragam seperti ini. Seperti menggambar bagaimana perasaanku lewat bermacam warna. Tapi sayangnya sekarang arti motif ini berbeda setelah ada seseorang yang mengetahuinya selain Asa, sahabatku.
"Udahlah Nur, toh coklat ini ga dibuang percuma 'kan? Bermanfaat untuk gue juga." ucap Asa santai.
Gue mengibaskan tangan di depan wajah Asa pelan. "Serah deh serah, gue iyain ajah deh biar seneng."
Iya, bermanfaat memang. Bermanfaat untuk perutnya yang tidak pernah kenyang dan haus akan traktiran dariku. Menyebalkan. Tapi dia juga sahabat paling setia selama ini.
"Nura, lo di panggil Ardi sekarang tuh." ucap Asa.
Aku menoleh kearah pintu. Ada seseorang yang dikatakan Asa barusan. Aku bangkit dari kursi dan menghampirinya. Tumben sekali dia mendatangi kelasku seperti ini.
"Kenapa, Ar?"
"Lo ikut gue bentar ya, Bu Resti manggil semua pengurus Kirana." ucapnya.
For your information, Kirana adalah nama eskul teater yang ada di sekolahku. Jangan kaget jika aku mengikuti eskul teater seperti ini. Hidupku sedari dulu sudah penuh dengan drama.
"Lah, terus? 'Kan bentar lagi juga masuk." protesku.
Ardi menghela nafas sebentar. "Udah ah, gue nanti yang ngurus ijin lo ke guru piket." ucapnya.
Tanpa persetujuanku dulu, Ardi langsung meraih tanganku. Menggandengku tanpa persetujuan lebih dahulu. Dia membawaku melewati manusia-manusia yang berjalan di koridor. Menembus kerumunan murid yang beurkumpul di depan setiap kelas. Untung saja ada Ardi yang membawaku. Jika aku nekat pergi sendiri, pasti aku akan terhimpit di sini.
Tinggiku saja hanya sepundak Ardi. Tak lebih dari 157 cm. Menggelikan sekali rasanya. Aku seperti di bawa oleh kakak melewati kerumunan orang agar tidak hilang.
