"Kefaaan! Ke sini, Sayang! KENANG KAMU JUGA!!!"
Ya Tuhan! Apa sih yang dipikirkan bocah-bocah ini?
Bagaimana aku tidak uring-uringan melihat rumah selalu kembali berantakan setiap mereka pulang sekolah? Cucian yang menggunung, perkakas dapur, belum lagi Kenang yang selalu meninggalkan X-BOX dalam keadaan tidak rapi, Kanaya yang melempar majalah seenaknya setelah nonton teve, bahkan Kefan yang meninggalkan lego dan mainan berceceran di mana-mana.
Kalau aku memprotes, mereka selalu menuntut agar masing-masing kamar diberi televisi. Aku tidak bisa mengabulkannya. Bukan masalah uang, melainkan kebersamaan. Kalau mereka punya segala-gala di kamar, aku tidak akan bisa mengajak mereka berkumpul, atau berbincang-bincang. Namun sebagai akibatnya, aku harus jadi babu pagi, siang, dan malam.
Kal-el belum juga menemukan asisten rumah tangga untuk mengurus kebersihan rumah, sedangkan aku merasa kewalahan jika harus menangani semuanya sendiri. Kalau aku terus-menerus harus disibukkan dengan urusan menyapu, mengepel, memasak, bahkan mencuci pakaian dalam adik-adikku, bagaimana aku bisa mencurahkan perhatin untuk pertumbuhan mereka?
Aku memutuskan untuk tidak buru-buru mencari pekerjaan baru, bahkan berpikir untuk menyulap garasi sebagai tempat usaha. Mungkin aku akan membuka garage café, atau laundry house, bisa juga toko kelontong, atau menyewakannya pada pelaku usaha. Rumah kami cukup strategis untuk itu. Akan tetapi, mungkin aku baru akan mulai memikirkannya beberapa bulan lagi, sekarang ini fokusku adalah menjadi kepala rumah tangga.
Tabungan hasil kerjaku selama bertahun-tahun di Jepang masih cukup banyak di bank. Cincin kawin yang semula aku pesan untuk Shizu juga sudah kuuangkan, meski hanya kembali 60%-nya, tapi sangat lumayan. Terlebih, secara mengejutkan, ayah menyimpan beberapa aset juga uang untuk kami melanjutkan hidup. Kal-el sudah mengaturnya dengan pengacara, masing-masing dari kami akan mendapatkan bagian. Sementara itu sampai adik-adik cukup umur, kami menyimpannya dan menyisakan untuk biaya hidup dan pendidikan mereka.
Yang lebih penting saat ini adalah mendidik mereka mengenai tanggung jawab dan memastikan masa depan mereka tidak melenceng ke mana-mana. Baiklah. Tanggung jawab pertama yang bisa diajarkan di rumah adalah mengenai pembagian tugas. Selain bisa meringankan bebanku, hal itu mau tidak mau akan mengajarkan mereka bagaimana bersikap toleran dan mau bekerja sama. Contohnya, jika tidak ingin tugas mengepel mereka terasa berat karena terlalu banyak yang harus dibuang ke tempat sampah atau dirapikan, mereka harus menjaga kebersihan sehari-hari. Jika tidak ingin saat jatah bersih-bersihnya tiba banyak yang harus dibereskan, mereka akan lebih concern mengembalikan barang-barang habis pakai ke tempatnya semula.
Nah itu dia. Setelah aku berteriak sampai uratku nyaris putus, akhirnya kudengar suara berisik televisi terhenti.
"Apa yang kubilang soal celana dalam?" semburku begitu Kenang dan Kefan menghampiriku di ruang cuci baju. Semburat merah muncul di wajah Kenang, disahutnya sepotong celana dalam yang kuacungkan ke mukanya.
"Sorry. Gue pasti kelewatan."
"Ini bukan yang pertama, Kenang! Dan itu bukan satu-satunya celana dalammu dalam tumpukan baju kotor. Baka! Celana dalam itu simbol privasi, kamu mau orang lain melihat apa yang kamu tinggalkan dalam celana dalam?!" omelku.
"Gue sih nggak keberatan," gumam Kenang, sambil menjulurkan lidah ke arah Kefan. Si bungsu tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba, melihat Kefan tertawa polos, satu pikiran terbersit di otakku.
"Siapa yang biasanya mencuci celana dalammu sebelum ini?" tanyaku pada Kenang.
Kenang menjawab cepat, "Aku sendir—"

KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Lovely Brother Kenan [SUDAH TERBIT]
Ficción GeneralKenan kembali dari Jepang setelah lima tahun meninggalkan Indonesia. Saat dia berharap akan menemukan keempat adiknya yang manis menjemputnya di bandara, orang tuanya justru mengalami kecelakaan, dan meninggal dunia. Sebagai sulung, dia harus menjad...