Chapter 14. Heart to Heart

8.9K 1.2K 117
                                    

Saat aku bertemu pertama kali dengan Shizu-Chan dalam sebuah acara Goukon, aku mendekatinya selain karena dia tipeku adalah karena dia tampak tidak bahagia berada di tengah kerumunan. Usut punya usut, setelah kami mengobrol, dia masih terpukul dengan situasi yang baru saja menghantam teman wanitanya.

Sekarang, aku bisa merasakan tidak enaknya menjadi Shizu saat itu, tidak mengalami, tapi merasakan imbasnya. Terlebih, aku tidak ingin Kanaya mengalami pengalaman traumatis yang sama dengan Ryoko-San, kawan Shizu. Aborsi sama dengan pembunuhan jika dilakukan tanpa alasan. Jika memang dia harus menanggung akibat menjadi orangtua dan memiliki bayi di usia yang terlalu dini, itu tidak akan menimbulkan efek samping mengerikan seperti melakukan aborsi.

Kawan Shizu bukan seorang gadis yang memiliki kecenderungan depresi. Seorang gadis periang yang mendambakan pernikahan dengan orang yang dicintai, memiliki anak-anak, tinggal di rumah dan meninggalkan pekerjaan untuk menjadi ibu rumah tangga. Seperti kebanyakan wanita Jepang yang telah menikah.

Namun, keadaan berkata lain ketika sang ayah tidak menyetujui pernikahan anaknya. Karena tidak ingin mencoreng nama baik keluarga, Ryoko-San mengambil jalan pintas dengan memutuskan hubungan dan melakukan aborsi. Aborsinya lancar, tetapi tidak demikian dengan kejiwaan Ryoko-San. Dia terguncang. Satu. Karena rasa sakit yang diakibatkan oleh aborsi ilegal ternyata berefek panjang. Dua. Karena perasaan bersalah telah menghabisi nyawa jabang bayi yang dikandungnya. Saat Shizu-Chan muncul di Goukon malam itu, dia tengah sangat lelah menghadapi depresi kawannya yang akhir-akhir itu kemudian berujung dengan serangkaian percobaan bunuh diri.

Membayangkannya saja, aku bergidik ngeri.

Aku mengerti, karena aku tidak ingin menghakimi posisi seorang wanita saat mengandung, tekanan apa yang mereka alami dan hal lain yang hanya bisa kupahami dengan pernyataan turut menyesal mendengarnya, tapi bagiku sendiri, jika hal itu terjadi pada anggota keluargaku, aku akan melakukan apa saja untuk mencegah mereka menempuh jalan pintas. Mereka hanya takut pada apa yang mungkin mereka hadapi, mereka tidak pernah memperhitungkan betapa saat si bayi lahir, semua perasan berdosa, rasa malu, takut dan khawatir akan lenyap.

Aku memang tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya menjadi ibu, tapi aku selalu merasa begitu terikat dengan adik-adikku. Aku menyukai bayi dan anak-anak. Aku selalu dengan senang hati merawat mereka. Di Tokyo, jika Daisuke-Sama, atasanku mengajak kami tamasya melihat pohon sakura dan mengajak keluarganya serta, aku lebih senang bermain-main dengan anak-anaknya. Demikian juga di apartemen, banyak anak kecil menyapaku. Mereka menyukaiku karena aku selalu tulus menyukai mereka.

Anak kecil itu mudah ditaklukkan bila kita tulus menyayangi mereka. Buktinya, bisa dilihat pada apa yang terjadi terhadapku dan adik-adik. Saat mereka kecil, sangat mudah menjadikan mereka anak-anak yang penurut. Lihat mereka saat beranjak remaja, mereka membuatku gila cukup dengan lima tahun tak bersua. Kalau mereka mau egois menyalahkanku, apakah mereka mau mengingat berapa belas tahun aku mengabdikan diri demi popok bersih dan sarapan mereka sebelum aku berangkat ke Jepang?

Jadi sudah kuputuskan. Dan keputusanku pun sudah bulat. Aku akan merawat bayi Kanaya, jika dia memutuskan melanjutkan hidup tanpa bayi itu.

"Kita akan kemana?" Aku bertanya saat kami selesai memasang seat belt masing-masing.

Kurasa, tidak perlu memanaskan mesin, sebab Kal-el baru saja memakainya.

"Ke tempat temen aku dulu di Gading," jawabnya. Mulutnya masih cemberut, pipinya juga menggembung. Setelah itu, dia menyeting maps dan meletakkannya di phone holder. Tanpa bertanya, aku meluncurkan kendaraan ke jalan raya.

"Apa aku aja nggak cukup nemenin kamu ke dokter?" tanyaku setelah kami saling diam lumayan lama. "Ngomong-ngomong, emangnya ada dokter buka minggu-minggu gini?"

Dear Lovely Brother Kenan [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang