Prolog

76 11 8
                                    

"Raai! Balikin cimol akuu!!" kata Sai sambil mencoba berdiri. Tubuhnya tersungkur jatuh di depan selokan. Ia menatap tajam bocah laki-laki yang berlari di depannya.

"Salah sendiri badan cebol! Udah tau di depan kamu ada polisi tidur, masih aja ngegas!" kata Sarai sambil memakan cimol yang ada di tangannya.

"Ugh!" Sai berdiri dan mulai mendekati Sarai. "Huh! Kena kamu! Balikin cimol aku!" kata Sai bersungut-sungut.
"Biasa ae ekspresinya," tukas Sarai.

Sarai melirik sahabatnya yang sedang sibuk dengan cimolnya. Ia melihat lutut sahabatnya itu berdarah."Ayo aku gendong," kata Sarai kemudian.

"Aku bisa jalan sendi-- Aduh!" jawab Sai menolak.
"Tuh kan! Ayo naik!" Sarai membungkuk di depan Sai.
"Brmm!! Ada pasien yang sakit! Aku harus membawanya ke rumah sakit segera. Wiuu... Wiuuu...." Sarai berlari di tengah indahnya senja, bersama seorang gadis kecil yang akan selalu ia jaga.
*
"Gimana? Masih sakit?" Sarai menatap sendu gadis kecil di depannya.

"Mm... Nggak terlalu," jawab Sai.

"Makanya jangan lari-lari! Badan cebol gitu lari-lari."

"Kan kamu yang ngambil cimol aku, Rai!"

"Lah kamu diem aja."

Sai mengerucutkan bibirnya tanda tak suka dengan jawaban Sarai.

*
Sai dan Sarai. Mereka bersahabat sejak mereka belum lahir. Bunda dan Mama mereka bersahabat sejak SD. Rumah mereka berdampingan. Pantas saja mereka sedekat itu. Tiap-tiap hari mereka bermain bersama, belajar bersama, makan bersama. Tak ada rasa bosan diantara mereka.

Sarai pernah berjanji kepada Sai. Ia akan selalu menjaga Sai, selalu bersama Sai. Dan janji itu, selalu diingat Sai. Meskipun itu hanya sebuah janji anak kecil.

Lambat laun mereka semakin tumbuh. Menjadi dua remaja yang menginjak masa-masa sulit untuk menemukan jati diri. Mereka berpikir bahwa mereka akan melewati masa-masa puber mereka dengan mulus. Tapi sayangnya, kenyataan yang mereka bayangkan jauh dari kata tepat.
*
"Raai! Sini dong! Jangan di situ! Ntar kalo kamu ketendang kakiku gimana?" tanya Sai sambil melompat-lompat di atas trampolin.

Sarai tidak berkutik sedikit pun dari posisi duduknya.

"Raaai! Kamu budek ya?" Sai menendang punggung Sarai yang berada di depan kakinya.

"Aaw! Sakit Sai! Kamu kira punggung aku bola apa!" kata Sarai mengaduh.

"Kamu sih, nyuekin aku!" kata Sai ketus.

"Aku lagi baca, kamu gak liat?"

"Aku lagi lompat-lompat! Kamu gak liat?"

"Kok balik nanya sih?"

"Dih, kamu makin suka baca makin bego. Yah jangan duduk di situ. Kan di rumah pohon situ bisa."

"Iya-iya," kata Sarai singkat sambil berlalu menuju rumah pohon.

Setelah lelah meloncat-loncat di atas trampolin, Sai berjalan menuju rumah pohon dan duduk di samping Sarai.

"Duh, capeknyaaa!" Sai mengelap keringat yang ada di keningnya. Sambil mengipasi mukanya.

"Bau kamu! Minggir! Jangan deket-deket aku!" Sarai berseru, lalu menutup hidungnya.

"Dih! Enak ae! Keringet aku wangi lagi," kata Sai mencibir.

"Wangi kayak bau comberan di depan rumah."

"Gaah, nggaklah, Rai!" Sai memutar bola matanya.

Sarai diam. Tak menanggapi ucapan Sai, kembali serius dengan buku yang di bacanya. Melihat itu Sai merasa tidak nyaman. Tiap kali Sarai menghadap buku, ia selalu merasa dianggap makhluk halus. Tak terlihat.

S & STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang