[2] S i a p a ?

26 4 19
                                    

"Kalau kamu mau nungguin ya gakpapa, tapi aku harus nganterin ce-wek-ku du-lu," ucap Sarai menekankan dua kata terakhirnya.

"Wait ... sejak kapan kamu punya cewek? Kamu gak pernah cerita sama aku? Jadi,  sekarang kamu main rahasia-rahasiaan sama aku?" tanya Sai beruntun tiba-tiba.

"Kamu mau tahu cewekku?" tanya Sarai menggoda Sai. Dalam hati Sarai, sebenarnya ia sudah tertawa terpingkal-pingkal.

"IYALAH!!!" sahut Sai. Ia tidak tahu kenapa, tapi Sarai berhasil menyulut emosinya kembali.

"Coba kamu lihat ke belakang, dia lagi buka pintu, tuh!"

Mendengar jawaban Sarai, Sai menoleh ke belakang, memperhatikan seorang perempuan yang membuka pintu perlahan. Meskipun dia sangat kesal dengan Sarai, sejujurnya, dia juga penasaran bagaimana tipikal perempuan yang disukai Sarai.

Perasaan Sarai gak pernah suka cewek. Eh, bukan gak pernah. Pernah sekali waktu TK dan dia ditolak mentah-mentah. Gila aja dia nembak pakai bunga kamboja. Dan sekarang tiba-tiba aja dia bilang ke aku kalo dia punya cewek. Impossible banget gitu, batin Sai.

Dan sedetik kemudian, Sai melihat wajah perempuan itu.
"Itu cewek kamu? Aku tabok sini pipi kamu!"

Sial! Dasar Sarai! Suka banget ngerjain aku dari kemarin! Sai bergumam dalam hati.

Perempuan itu berjalan menghampiri Sai dan Sarai.

"Pagi, Bunda!" Sai menyapa perempuan paruh baya yang sudah dianggap seperti Mamanya sendiri itu.

"Pagi juga, Sayang."

"Bun, jadi ke toko bunga?" tanya Sarai kemudian.

"Jadi, tapi Sai berangkatnya gimana?"

"Suruh naik angkot aja, udah gede juga."

Sai mencibir kepada Sarai tanpa sepengetahuan bundanya.

"Bener gakpapa?"

"Gakpapa kok, Bun," jawab Sai dengan senyum palsunya.

Sarai terkikik, lalu mengacak rambut Sai,"Hati-hati ya, bocah!"

Sai mendengus pasrah sambil memutar bola matanya.
*

"Pagi bocah, gimana ngangkotnya lancar? Jam segini muka kamu udah mendung aja."

"Namaku bukan bocah! dasar, kutu babi leher jerapah, dekil, jomblo!" cerocos Sai tanpa memandang Sarai.

"Biasa aja lagi Sai, gitu aja marah."

"Serah."

"Mobilnya Bunda di bengkel, jadi aku yang nganterin. Masa ya bonceng bertiga? Sekali-kali ngalah dong sama yang tua. Gak bosen tiap hari aku yang bonceng?"

"Serah."

"Udah dong, Sai. Eh, aku punya sesuatu buat kamu!"

"Apa? Kamu kan pelit!" Sai mengerucutkan bibir, cemberut.

"Tapi jangan marah lagi, oke?"

"Hmmm ... gak mau."

"Kok gitu?"

"Kamu sih ngeselin! Dari kemarin ngerjain aku mulu. Kamu kan yang nge-post foto aku pas lagi tidur kemarin?"

Sarai nyengir. "He-he, kamu sih, katanya Mama buat rainbow cake, kamu bohong sama aku."

"Habisnya aku kira kemarin kamu marah sama aku."

"Kan aku udah bilang aku nggak marah sama kamu."

"Hmm ... terus lagi tadi pagi kamu juga ngerjain aku, aku kira kamu punya cewek beneran!"

"Hahaha, emangnya kalau beneran kenapa?"

Sai kaget. Tapi buru-buru ia menyimpan rasa kagetnya. "Ya ... gakpapa. Ehm ... tadi katanya kamu punya sesuatu buat aku?"

"Udah gak marah nih ceritanya?"

"Ehm ... enggak, aku juga gak tahan marah-marah sama kamu terus. Ntar aku cepat tua lagi."

Sarai mengeluarkan sesuatu dari sakunya.

"Nih, Edelweiss!! Kamu suka kan!" Sarai menyodorkan sesuatu di atas telapak tangannya.

"Kamu suka kan?" Sarai mengulang ucapannya.

"Suka sih suka, tapi cuma kelopaknya aja? Buat apa?! dasar pelit!!"

"He-he. Tadi sebenarnya mau ambil di toko, ternyata full buat pesanan, tinggal kelopaknya aja yang sisa. Masa iya aku harus beli di toko lain? Aku nggak punya uang sekarang. Traktir ya ntar di kantin?" kata Sai menunjukkan senyum termanisnya.

"Enak banget kamu! Bikin marah tapi minta traktiran!!" jawab Sai kesal.

"Hahaha, gakpapa dong! Aku kan sahabat kamu."

"Ih, alasan," ucap Sai cemberut, "tapi ada syaratnya!"

"Apa?"

"Nanti pulang sekolah anterin aku ke toko buku dulu, oke?"

"Ngapain?"

"Ya beli buku, bego!"

"Maksud aku, tumben kamu beli buku?"

"Ada novel terbitan baru yang pengen aku beli. Bawel amat kamu kayak Mama. Kalau nggak mau nganterin yaudah!" Sai manyun.

"Cuma tanya juga. Siap tuan puteri!" kata Sarai mencibir.

Tepat saat itu bel masuk berbunyi, pak Bakri guru fisika mereka siap mengisi jam pelajaran pertama bak penghukuman di neraka.
*

"Kamu ikut masuk?" tanya Sai sembari turun dari motor Sarai.

"Kamu lama nggak?" tanya Sarai balik.

"Mungkin," ucap Sai menggantung.

"Mungkin apa?"

"Mungkin lamalah!"

"Aku tunggu di kedai kopi itu, yah? Pingin ngopi. Nanti kalau kamu kelamaan dan aku udah selesai, aku jemput kamu di dalem."

"Oke," sahut Sai setuju.
*
Di dalam toko buku, terlihat Sai sedang asyik berkutik dengan buku-buku baru. Seperti di surga, ia menikmati aktivitasnya dengan santai dan mata berbinar setiap kali mengambil buku yang berhasil menarik matanya.

Udah lama gak baca novel, gak baca buku juga. Palingan baca buku kalau mau ujian doang, itu pun buat belajar, batin Sai.

Setelah mendapat beberapa buku yang ingin dibeli, Sai berjalan membawa bukunya menuju kasir. Tapi tiba-tiba saat ia berbelok dari rak yang ia tempati, ia bertabrakan dengan seseorang dan,

BRUUKK!

Buku-bukunya jatuh berserakan. Sontak ia mengaduh, "Duh! Untung gak lecet nih buku!" ucap Sai sambil memunguti buku-bukunya. Lalu ia menengok ke arah orang yang tak sengaja bertabrakan dengannya.

Cowok? Dekil, rambut acak-acakan, kulit pucat,muka blesteran. Kesan pertama Sai terhadap lelaki di depannya itu.

"Eh! Sorry! Aku nggak sengaja, kamu nggakpapa, kan?" tanya lelaki itu gelagapan.

Baru sadar? Dari tadi kek dibantuin mungut bukunya, ucap Sai dalam hati.

"Hmmm ... iya, nggakpapa," jawab Sai dengan tersenyum dan dibalas dengan senyuman oleh lelaki itu.

Deg! Gantengnya!!! Manis! Nih cowok lumayan juga, ucap Sai lagi dalam hatinya.

S & STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang