[3] A d a A p a?

15 3 11
                                    

Deg! Gantengnya!!! Manis! Nih cowok lumayan juga, ucap Sai lagi dalam hatinya.

"Ada apa?" tanya lelaki itu sembari memiringkan kepalanya sedikit.

"Eh!? Nggak!" ucap Sai gagu, bingung dengan sikapnya sendiri. Ia salah tingkah, dan ia malas mengakuinya. Buru-buru Sai mengambil sikap, berlalu dari tempat itu, memeluk erat buku-buku yang ingin dibelinya dan berjalan menuju kasir tanpa menoleh.

Sesampainya di sana, ia malah mendapati Sarai sedang menggoda gadis yang bekerja di bagian kasir itu.

Dilihatnya Sarai terkikik dan rona wajah memerah dari gadis kasir itu, ya benar, gadis itu tersipu. Entah bualan apa yang dilemparkan Sarai, yang jelas hal itu ampuh membangunkan iblis kecil dalam hati Sai. Ia mulai menyulut api yang membuat jantungnya berdetak kencang dan ingin memaki, rasa malu yang ia alami sebelumnya habis sudah.

"Lama amat, Sai!" ujar Sarai ketika melihat Sai tiba sambil menghentakkan kakinya.

"Kok kamu gak nyari aku?"
tanya Sai bersungut-sungut.

"Ngapain dicari? Toh, nanti kamu bakal ke sini."

"Huh!"

"Kenapa sih kamu? Abis kerasukan setan tadi ya pas nyari buku? Katanya tadi udah gak marah?"

"Dasar, ganjen!" maki Sai tanpa menoleh, lalu menyodorkan buku-bukunya ke gadis kasir di depannya. Sekilas, Sai melihat wajah gadis kasir itu yang terlihat takut dan bersalah.

"Yaudah, aku tunggu di parkiran, ya!" Sarai menepuk pundak Sai,"bye, mbak manis!" tambahnya sambil melirik ke gadis kasir itu.

Sai memutar matanya jengah,"Well."

**

Kring!
Kriiinnngggg!

Tepat pukul 10.00, bel istirahat berbunyi. Semua siswa berhamburan keluar kelas, sebagian ada yang pergi ke kantin, ke kamar mandi, ada juga yang menemui sang pujaan hati di kelas lain atau sekadar berbincang dengan teman di depan kelas.

Di bagian sudut kantin, di temani perpaduan suara manusia, piring, gelas, sendok, dan garpu yang beradu mesra nan merindukan, terlihat Sarai dan Sai yang sedang berbincang. Perbincangan renyah, tak bermakna, tapi manis untuk disimak. Mereka duduk berhadapan di atas kursi warung yang panjang sambil menikmati menu makan siangnya.

"Rai, kamu kenapa, sih?" tanya Sai setelah menempatkan pantatnya senyaman mungkin di atas kursi.

"Kenapa apanya sih, Sai?" Sarai balik bertanya, lalu memakan krupuk di tangannya.

"Kamu nggak flu kan?"

"Nggak, cuman kepedesan aja. Cobain mi aku pedes banget!" Tanpa meminta persetujuan Sai, Sarai memindahkan sesendok mi-nya ke dalam mangkok milik Sai plus sesendok cabai ulek segar yang ia selipkan dengan sengaja.

"Tapi tadi pagi kamu bersin-bersin?"

"Ohh itu, alergi sama kamu kali," jawab Sarai ngasal.

"Ya masa sama aku, orang biasanya kamu sama aku juga gakpapa," cerocos Sai, mengerucutkan bibirnya.

"Iya iya, aku agak flu, kemarin malem habis kehujanan, sih. Bentar lagi juga sembuh. Kenapa? Kamu khawatir sama aku, ya?"

"Eh, ada apa tuh rame-rame depan ruang guru?"
tanya Sai tiba-tiba, ia sedang malas meladeni Sarai yang memang over percayadirinya.

"Entah, tanya aja sama yang lain! Aku lagi kencan sama mi aku nih, gak bisa diganggu." Sarai meniup-niup mi-nya, mukanya memerah karena kepanasan dan kepedesan.

Sai memutar bola matanya, kebiasannya ketika ia merasa muak dan tidak puas dengan jawaban Sarai. Sai melilit mi di mangkuknya, siap mendorong suapan itu ke dalam mulutnya dan,

Boom!

"Ih! Anjrit! Kok pedes!! Shhh .. shh!" gelagapan Sai meneguk es tehnya sampai habis. Ia memandang Sarai  yang ada di depannya sedang tertawa cekikikan. Bermaksud untuk segera memarahi Sarai, Sai malah tersedak, ia pun berlari menemui ibu kantin untuk menambah es tehnya.

"BHAHAHAHAHA!!! HUAHAHAHAHAHAHA!!!!!" Sarai tertawa semakin keras, suaranya mulai menyaingi pembicaraan acak yang mengisi penuh kantin.

Setelah 10 menit berlalu Sai tiba di meja mereka, ia duduk, meminum es tehnya sambil melirik kerumunan yang ada di depan ruang guru tadi. Mukanya tidak terlihat marah dan kepedasan, sepertinya ia berhasil mengendalikan emosinya sendiri.

"Maaf, Sai," celutuk Sarai kemudian.

"Gakpapa."

"Kok gak marah?"

"KAMU MAU AKU MARAH?"

"Ya e-enggak, Sai," jawab Sai salah tingkah.

Sai diam, matanya masih melirik kerumunan yang berada di depan ruang guru.

"Ada apa?"

"Ada anak baru, Rai."

"Ohh ... cewek apa cowok?"

"Entah."

"Kamu gak penasaran?"

"Nggak."

"Masa? Kok dilihatin terus?"

"Males aja lihat cowok jelek di depan aku."

"Masa aku jelek?" tanya Sarai lalu memasang muka sok cool.

Sai tak menyahut, ia merasakan sesuatu yang berontak di perutnya, sepertinya ia harus segera mengeluarkan hajat besarnya di toilet. Saat Sai ingin beranjak dari tempatnya, bel masuk berbunyi. Dengan sikap tenang yang dibuat-buat Sai berkata," Rai aku pingin ke toilet, tolong bilangin ya nanti ke Pak Killer," mohon Sai sambil meremas lengan Sarai dengan kejam.

"I-iya, Sai." Sarai meringis, merasakan sakit di lengan tangannya.
*
Uh, harus cepet nih, semoga aja Sarai udah bilang ke pak Killer, kalau belum, bisa-bisa di keluarin kelas aku! batin Sai.

Sai berlari menuju kelas dengan panik, saking paniknya ia sampai menggebrak pintu kelas tanpa sadar. Dan dilihatnya seorang laki-laki yang tiba-tiba menunjuknya.

"Kamu?"

S & STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang