1 (Malapetaka)

43.9K 2K 9
                                    

Garis-garis oranye mulai terlihat di langit sore, membentang luas tanpa tahu dimana akhir warna itu, menandakan matahari harus berpindah ke belahan bumi lain mengistirahatkan malam. Biasanya kami akan beristirahat sejenak untuk menikmati langit oranye itu ditemani segelas teh hangat dan petikan lembut gitar. Tapi tidak kali ini. Pria berambut kuncir kuda di depan barisan, memutuskan untuk berkemah setelah kami melewati jurang dan kini kami harus terus melanjutkan penurunan.

Aku menyeka keringat di dahiku, kak Joan-pria berambut kuncir kuda- biasanya akan mengistirahatkan kami, tapi sudah sampai satu jam penurunan kami tidak diberikan waktu untuk beristirahat, terlebih karena insiden tanah bergetar yang terus terjadi membuat kami menjadi ekstra hati-hati. Artinya menguras energi dan mental kami.

Kak Joan adalah pria bermata hazel dengan gaya khas seperti preman namun memiliki sikap yang sangat gentle. Aku mengenalnya dengan baik. Pria itu senior tingkat 3 saat aku di tingkat 1 sekolah menengah pertama. Dia merupakan teman baikku. Hari ini sikapnya berbeda. Ia terlihat seperti orang tua yang terlalu banyak pikiran.

Mungkin karena wanita-wanita sinting itu, pikirku.

Ku lirik jam tanganku, pukul 5. Seharusnya kami sudah mulai berkemah. Lagi-lagi aku mengeluhkan hal sama. Untuk yang kesekian kalinya, suara lengkingan kembali terdengar di barisan depan. Perempuan berambut ikal merah memegang lengan temannya kuat. Dia terus menjerit-jerit tiap melihat dasar jurang yang dalam, diikuti jeritan temannya yang lain karena tertular kepanikannya. Hal ini sudah terjadi sejak pendakian dimulai. Dan masih terus terjadi sampai detik ini.

Benar-benar membuat kesal. "Berhenti menjerit seperti tikus, nona pemberani!" Aku yang berada di barisan tengah memaki kesal, membuat pendaki lainnya terkikik geli mendengar ucapanku. Para wanita sinting itu menatapku tajam. Aku balas memelototi mereka, peduli setan mereka sekampus dengan kak Joan.

Mereka harus tahu. Keikutsertaan mereka membuat kami barisan tengah sampai belakang harus berhenti, hanya untuk menunggu mereka berhenti menjerit dan mau berjalan lagi. Wanita sinting mana yang mengikuti pendakian hanya untuk mendekati pria idamannya? Tentu saja mereka. Dari yang kutahu mereka adalah kelompok most wanted girls sinting di kampus yang mengikuti kak Joan-sialnya­- merupakan salah satu most wanted boys yang 'katanya' sulit ditaklukan. Oh ya ampun! Entah apa yang mereka lakukan sampai Kak Joan yang sulit ditaklukkan itu mengizinkan mereka ikut.

Atau tidak.

Aku tidak akan kaget jika mendengar mereka mengikutsertakan diri diam-diam dalam pendakian. Sungguh.

Tubuhku mendadak kaku ketika tanah yang kami pijak bergetar kembali. Jika aku benar, maka kali ini getarannya lebih kuat. Aku mulai berjongkok dan berpegangan pada akar-akar pohon yang mencuat keluar di sekitarku. Aku melihat sekeliling dan semuanya melakukan hal yang sama sepertiku, diiringi dengan jeritan penuh kesengsaraan yang bisa merusak telingamu kapanpun.

Aku memegang akar itu kuat, menancapkan kuku sedalam yang kubisa. Aku menutup mataku rapat-rapat ketika getaran itu semakin kuat. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya, begitu pun napasku, membuatku terlihat seperti habis bermaraton. Ku harap ini hanya getaran biasa dari dalam gunung.

Suasana begitu hening kala getaran di tanah tidak lagi terasa, bahkan suara para wanita sinting itu juga tidak terdengar. Entah mengapa mendengar wanita-wanita sinting itu diam tidak membuatku tenang. Aku membuka mataku dan mulai berdiri melihat keadaan sekitar. Ku lihat Kak Joan melambaikan tangannya ke barisan belakangnya, memberikan isyarat apakah kami baik-baik saja dan kubalas dengan isyarat 'ok'.

Dapat kulihat para wanita itu duduk bagaikan patung dengan mulut terbuka, ku harap setelah ini kadar kesintingan mereka akan berkurang.

Kami kembali melanjutkan penurunan menjadi lebih cepat dari sebelumnya. Kami semua tahu. Getaran tadi bukanlah pertanda baik, tapi kami lebih memilih menyimpan pemikiran itu dalam-dalam dan berharap hanya sebuah pemikiran buruk semata dan mempercepat langkah kami.

Namun kami tidak benar-benar cepat.

Tepat beberapa menit kami berjalan, tanah meluruh.

Oh tidak! Tanah longsor!

Keadaan mulai riuh, ku lihat kak Joan mulai berteriak meminta kami berlari menjauhi barisan depan. Semua orang di barisan depan berlari ke arahku, menjauhi tanah longsor yang mulai menyusul barisanku.

Aku berbalik dan berlari tanpa berani melihat ke belakang, begitupun dengan yang lainnya. Tanah pijakanku pun mulai meluruh, beberapa orang berhasil menyusulku dan beberapa dari mereka jatuh dan terperangkap ke dalam longsor. Teriakan panik dan penuh ketakutan menjadi satu-satunya suara yang mengisi langit oranye. Teriakan yang begitu memekakkan telinga. Teriakan ketakutan dan keputusasaan.

Jantungku terus berpacu, memaksaku untuk berpikir lebih keras.

Berpikir! Berpikir!

Jika aku berlari mengikuti rute aku bisa saja jatuh seperti mereka, jika aku keluar rute aku juga bisa mati tersesat. Sial! Ku lihat hanya beberapa orang yang tersisa dari rombongan kami.

Seketika aku mengingat Kak Joan. Aku menghentikan langkahku dan mulai melihat sekelilingku. Aku melihat Kak Joan yang berusaha keluar dari tanah yang menimbun sebagian tubuhnya.

"Kak Joan!" Aku mencoba berlari kearahnya dan menghindari tanah pijakan yang terus meluruh, namun teriakan Kak Joan menghentikanku.

"Jangan Clar! Pergi! Selamatkan dirimu! Cepat!" Itu adalah teriakan terakhir Kak Joan sampai akhirnya aku melihat ia ikut terseret tanah masuk ke dasar jurang dan hilang bak ditelan bumi. Tapi hal itu tak berlangsung lama karena tanah pijakkanku ikut meluruh dan membuatku ikut jatuh dan terus terperosok. Rasanya bagaikan naik perosotan yang sangat licin, sungguh. Aku langsung berdiri dan berlari melawan arah. Sedikit, sedikit lagi! Aku kembali ke atas.

Berhasil!

Sialnya tanah terus meluruh, membuatku menggulingkan tubuhku ke samping tanah yang tidak ikut meluruh dan langsung bangkit berdiri, berusaha lari sekuat tenagaku. Dengan kewarasan yang tersisa, aku memutuskan untuk berlari keluar dari rute perjalanan yang sialnya, semakin aku masuk ke dalam hutan, cahaya semakin minim. Aku terus berlari sambil mengeluarkan senter dari tas pinggangku.

Aku tersungkur karena terlalu fokus mengambil senter dan tepat di hadapanku adalah jurang yang benar-benar gelap!. Oh tidak! Kacamataku terlepas dan jatuh ke dalam jurang.

Aku tak tahu berapa kedalaman jurang itu tapi yang jelas di sana benar-benar gelap. Aku tidak bisa melihat apa yang ada di dalam sana. Aku segera menarik tanganku yang menggantung bebas di tepi jurang dan mulai merangkak mundur tanpa mengalihkan tatapanku dari jurang itu, namun belum sempat aku menjauh dari tepi jurang, bebatuannya mulai meluruh dan masuk kedalam jurang.

"No no no!" Aku berusaha merangkak mundur, sialnya dewi Fortune tidak bersama ku lagi seperti tadi.

"AAAAAAAAAAAA!" Pekikku saat terus terperosok bersama tanah-tanah itu sampai akhirnya aku terjun bebas ke bawah jurang.

Astaga! Tuhan tolong aku!, Aku terus terjun ke dasar jurang yang samar-samar semakin gelap. Aku berusaha melepaskan pengikat tas gunungku. Sial! Aku kesulitan melepasnya. aku terus mencoba melepas pengikatnya hingga akhirnya aku tidak bisa melihat apa-apa. Gelap! Semuanya gelap! Tidak ada yang bisa ku lihat disini.

Aku menutup mata dan wajahku dengan kedua tanganku rapat-rapat lalu menekuk kedua kakiku. Oke! Siap tidak siap, aku harus siap! Ya Tuhan, jika memang aku mati seperti ini setidaknya aku mau mayatku bisa ditemukan, mengingat jurang ini yang dalam dan gelap gulita.

"Aw! Aw! Akh! Aduh! Akh!" Jeritku saat merasakan tubuhku menabrak sesuatu. Aku tidak tahu tapi rasanya seperti pohon.

Sakit! Sangat sakit!. Rasanya seperti aku jatuh dari lantai dua berkali-kali. Aku menutup wajahku dengan kedua lenganku, kakiku bahkan sudah tidak ditekuk. Aku terbanting kesana kemari, seakan-akan ini takkan pernah berakhir.

Inikah akhir dari seorang Clarence Aerin? 1 kata untukku.

Mengenaskan.

Kuharap mayatku ditemukan, aku tidak mau menjadi bangkai di sini atau mungkin makanan hewan, dan saat detik itu juga aku tidak bisa merasakan tubuhku.

o00o
Re: 04.09.2017
24.03.2018

Best Regards,

Emma

Relateion [Re-Write]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang