5 (Mate)

20.2K 1.2K 35
                                    

Aku menatap kedua pria di hadapanku dengan geram. Keduanya tetap pada pendiriannya masing-masing. Tidak ada satupun dari mereka yang ingin berdamai. Satu bulan. Satu bulan mereka melakukan gencatan senjata hingga saat ini. Entah apa alasannya. Selama waktu itu, pemulihan tubuhku berangsur-angsur membaik. Donor darah dari bangsa werewolf benar-benar sangat berguna. Darah mereka mempercepat pemulihan dan menutup luka tanpa bekas. Jujur saja, aku iri dengan kelebihan mereka itu.

Bisa-bisa kepulanganku besok tertunda karena stress memikirkan masalah mereka

Aku menghela napas lelah melihat kedua pria itu duduk berjauhan di sofa ruang rawatku. Tidak ada tanda-tanda ingin berdamai. Aku menaikkan kaki kananku sebagai penopang tangan kananku, duduk bagaikan preman banyak lagak. "Dengar. Aku tidak tahu kalian punya masalah apa. Tapi hentikan perang kalian, dan berbicaralah satu sama lain. Maksudku, Astaga!!! Gunakanlah otak sempit kalian itu!"

"Manusia rendah sepertimu memerintah Alpha sepertiku?" Pria yang tak seberapa tampannya dibanding kak Nic itu menatapku merendahkan. Bahkan aku bisa melihat ia terkekeh begitu menyebalkan. Jika saja aku tanganku tidak terinfus, ingin sekali aku merobek wajah itu.

Orang matipun pasti bangkit lagi kalau rohnya melihat wajah pria sinting ini. Benar-benar menguji kesabaran.

Tidak. Semua ini salahnya. Dia menyerang, pack, melukai kak Nic, bahkan hampir membunuhku, dan sekarang entah karena alasan apa, dia masih berani menampakkan wajah jeleknya itu di hadapanku. Kesabaranku sudah habis bahkan jika diperas takkan tersisa setetes pun.

Aku melempar cangkir di atas nakas ke pria itu. Bunyi cangkir pecah tak terelakkan lagi. Sial meleset. Jika saja itu mengenai kepalanya mungkin saja otak dungunya akan sedikit menjadi normal.

"Kau...." Pria itu menatapku dengan tajam. Tatapannya bagaikan predator yang siap membunuh mangsanya kapanpun. Tidak. Bahkan kini tatapan itu tidak menakutiku sama sekali. Aku benar-benar membenci pria seperti dia. Arogan.

"Apa? Kau ingin membunuhku? Lakukan! Aku sudah pernah menghadapi kematian! Kemari kau bajingan jelek, sinting, tidak tahu diri." Aku mengatakan semua yang tertahan sebelumnya. Tidak peduli dia melihatku seperti orang gila yang berteriak atau apa, tapi rasanya benar-benar menyenangkan mengungkapkan semua itu.

"Kau melangkah maju, aku takkan segan lagi padamu, Erick." Aku menatap kak Nic. Astaga aku bahkan lupa kalau dia ada di sini. Entah apa yang dipikirkannya saat melihatku seperti ini, pasti mengerikan. Kau benar-benar sudah gila, Clary.

Aku tertawa. Tertawa senang atas apa yang kulakukan sekaligus menertawai tingkah bodoh yang baru saja aku lakukan. Habis sudah imageku.

"Clary... kau tidak apa-apa? Hey, ada apa? Kau baik-baik sajakan? Apa sakit di punggungmu kambuh?" Kak Nic memelukku, dapat kurasakan tubuhnya bergetar. Astaga. Aku bahkan sudah membuat orang sebaiknya mengkhawatirkanku sampai seperti ini. Kau benar-benar menyusahkan, Clary.

"Dia sudah gila." Aku melotot menatap pria itu. Aish, aku takkan segan lagi pada pria itu. Tidak peduli dia Alpha atau Raja apapun, tidak boleh ada yang merendahkanku.

Aku kembali tertawa, tertawa begitu keras bagaikan orang gila. Persetanlah satu rumah sakit ini mendengar tawaku. Aku tertawa sampai air mataku keluar. Ini sungguh lucu. Aku, seorang manusia menantang seorang Alpha werewolf. Cari mati. Sudah sejauh ini apa boleh buat.

"Kematian saja takut padaku, memangnya kau tidak?" aku menatap pria itu sambil terkekeh. Aku mencabut paksa jarum infus di tanganku, kemudian berjalan mendekatinya tanpa peduli ocehan kak Nic untuk segera mengobati tanganku yang mengeluarkan darah. Aku menatap pria itu serius.

Demi apapun tanganku sangat sakit! Orang sinting mana yang mencabut paksa infusnya? Oh aku lupa orang sinting itu di sini. Aunty Rose... aku bersumpah tidak akan melakukan ini lagi. Aku menyesal.

Relateion [Re-Write]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang