Scissors 2

94 6 4
                                    

Enam belas tahun yang lalu di rumah sakit Adi Kusuma pukul 22.10 WIB. Dua orang ibu sedang berjuang antara hidup dan mati. Ibu Dian Sucipto sedang berjuang untuk bayi perempuannya, dan ibu Heny Pratama sedang berjuang untuk jagoan laki-lakinya di kamar bersalin 105 lantai 2 rumah sakit itu.

Sementara itu, dua sahabat sedang harap-harap cemas di balik pintu kamar bersalin. Mereka adalah Bambang Sucipto dan Agung Pratama.

Mereka memang bersahabat sejak kecil, apapun yang dilakukan ingin selalu bersama, menikah bersama, bahkan sekarang istrinya melahirkan di waktu yang bersamaan.

Kali ini mereka hanya ingin segera bertemu dengan istrinya yang sedang berjuang di dalam dan terlebih lagi ingin segera mendengar suara bayi kecil mereka. Walaupun sebenarnya dokter memperbolehkan mereka untuk masuk dan menemani proses persalinan istri-istri mereka.

Namun kedua sahabat itu lebih memilih untuk menunggu diluar, alasan utamanya karena mereka berdua takut akan darah. Terdengar geli dan lucu untuk usia mereka saat ini takut akan hal semacam itu.

"Gung, kalau bayimu lahir. Kamu beri nama siapa?"

"ya tentu akan ada nama Pratama dibelakang namanya. Lha wong aku bapaknya"

"iya siapa ck?"

"santai dong bro. namanya Dipta Catur Pratama."

Setelah dua jam akhirnya yang di nanti-nanti pun tiba. Tangis bayi-bayi mereka memecah heningnya malam saat itu juga.

~~~

Dipta Catur Pratama adalah anak tunggal dari pasangan Heny dan Agung Pratama. Dia merupakan pewaris tunggal Pratama Group yang anak perusahaannya dimana-mana. Oleh karena itu sejak kecil Dipta di bimbing oleh keluarganya agar disiplin dan bertanggung jawab. Dipta tumbuh menjadi anak yang ramah,baik, disiplin dan bertanggung jawab.

Karena orang tua kami bersahabat dan selalu ingin bersama, maka tempat tinggal kami pun ada dalam satu perumahan. Sudah bisa dipastikan gue dan Dipta menjadi sangat dekat sejak kecil. Kami selalu bermain bersama, bersepeda bersama, sekolah bersama sampai usia kami sekarang 16 tahun.

Gue atau Dipta gak pernah canggung satu sama lain. Kami sama-sama punya sifat jahil. Tak heran jika sampai saat ini kami masih saling menjahili. Setiap harinya selalu ada ide untuk saling balas dendam menjahili.

~~~

"Runa, gue pulang ya. Salam buat mama lo." Ucap Dipta saat kami berhenti di depan rumah gue.

Yaa setiap hari Dipta antar jemput gue buat ke sekolah. Tentu kalian tau dong kenapa gue sama Dipta satu sekolah. "Orang tua kami selalu ingin bersama"

Gue juga heran sama dua pasang orang tua itu, sampai-sampai anaknya juga disuruh satu sekolah. Anehnya lagi si Dipta waktu tes masuk SMA rela banget jawaban ujiannya di salah-salahin supaya nilainya jelek, karna dia tau pasti nilai gue juga bakal jelek, otak gue aja pas-pasan, sedikit geser pula.

"iya makasih salam buat mama Heny juga." Gue melambaikan tangan pada Dipta

Gue langsung naik ke kamar dan menghempaskan tubuh gue di kasur tercinta ini. Biasanya gue langsung tidur setelah pulang sekolah. Tapi gak untuk kali ini. Gue kepikiran pertanyaan Bebhita minggu lalu.

"kenapa gue gak jadian sama Dipta?" pikir gue yang gak pernah ngerti maksud kata "jadian".

Gue gak pernah naksir cowok, satu-satunya cowok yang deket sama gue ya cuma Dipta, gue gak pernah tau apa itu "cinta". Tiba-tiba wajah Dipta muncul di hadapan gue dengan senyum khasnya, bola mata coklat dan gigi gingsulnya yang gigit kaki gue.

"Aauw, Blowie!!! Lu bikin kaget aja kirain Dipta gigit gue beneran."

Blowie anjing ras Golden Retriever gue ini demen banget sama kaki gue, mungkin dia kira kaki gue ini makan siangnya karna bau kaki gue yang tajam ini. Tiap gue pulang sekolah dia udah nongol aja di kamar, kadang juga tidur dikasur gue. Dirumah gue gak ada orang, cuma Blowie aja. Orang tua gue kerja pulangnya nanti malam, si Bram juga kuliah di luar negeri. Kadang gue ngrasa kesepian.

"Dipta lagi ngapain ya?" Sosok Dipta muncul lagi dipikiran gue.

ScissorsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang