NOTE: Kalian bisa ikut menjawab pertanyaan yg diberikan tokoh utama dengan inline comment ya. Dalam kisah ini aku ingin para pembaca bisa lebih talkative dan juga menumpahkan pikirannya. ^^
Setiap orang pastinya mempunyai pendapat dan alasan masing-masing. Dari pertanyaan ini, kalian bisa sekaligus mencoba memposisikan diri dan merenungkannya.###
Salahkah jika seseorang memutuskan komunikasi agar ia bisa melupakan dan move on?
***
Lima menit berlalu dan aku masih tetap menatap isi chat itu. Perdebatan terjadi antara hati dan pikiranku. Hatiku mendesak agar aku membalas chat Satha, namun pikiranku melarang. Aku tahu, jika aku membalas pesan ini, artinya aku telah kalah ... kalah dalam tekad yang sudah kubuat.Apa yang harus kulakukan sekarang? Kenapa di saat aku mendekat, dia seolah cuek dan menjauh, tapi saat ini, di saat aku berusaha untuk menjauh, dia malah mendekat? Inikah yang disebut sebagai permainan antara ego dan cinta?
Satha's calling
Melihat panggilan telepon itu, jariku seakan tidak memedulikan perdebatan yang terjadi. Dia sudah memutuskan untuk mengikuti hatiku yang langsung berbunga saat melihat namanya di layar ponsel.
"Niva." Suara Satha langsung membuka sambungan telepon kami.
"Hm." Hanya gumaman itu saja yang dapat lolos dari diriku. Aku sadar jika saat ini tekadku kembali kalah.
"Kenapa chat-ku cuma di-read?" tanyanya.
"Aku...." Tidak mungkin aku memberitahu dia tentang perdebatan dalam diriku itu, kan?
"Aku ganggu kamu ya?" Suaranya terdengar sedih.
"Gak kok. Aku cuma ... cuma lagi chat sama teman aja."
"Teman? Siapa?" Sifat posesif-nya tetap tidak berubah.
"Yang pernah aku ceritain ke kamu."
"Ooh...."
Setelah ucapan terakhir Satha, kami sama-sama diam. Aku bingung, apa yang harus aku katakan. Mungkin jika hubungan kami tidak seperti ini, akan ada ribuan pertanyaan dan bahan pembicaraan yang mengalir dari diriku. Namun, keadaan ini membuat semuanya tidak bisa kukatakan. Aku menggigit bibir dalamku, berusaha menahan kata-kata yang ingin keluar.
"Beb...," panggilnya tiba-tiba.
Mataku terpejam mendengar panggilan sayang itu. Mungkin orang lain akan berpikir kalau aku sangat konyol, bisa-bisanya aku berpacaran dengan orang yang tidak pernah kukenal, bahkan aku hanya tahu nama dan umurnya saja. Hanya dalam beberapa hari perasaan cinta itu tumbuh dan setelah tiga minggu aku mengakhirinya begitu saja. Tapi memang itulah kenyataannya, semuanya telah terlambat saat aku menyadari jika hati ini mulai menyayanginya.
Waktu tidak dapat menekan rasa cinta, bukan? Jatuh cinta....Sama seperti saat kita jatuh, kita tidak pernah tahu bahwa kita akan jatuh sebelumnya. Begitu juga dengan jatuh cinta ... kita bisa jatuh ke dalam cinta itu kapan saja. Jatuh ke dalam suatu rasa yang bisa saja kita syukuri atau sesali. Waktu tidak dapat menjadi sebuah ukuran seberapa besar cinta yang kita miliki karena cinta hanya bisa diukur oleh hati.
"Kok, kamu diam aja?"
Suaranya menarikku kembali kepada kenyataan. Kenyataan bahwa hubungan ini tidaklah benar. Kenyataan kalau rasa yang kumiliki tidak akan bisa hilang jika aku tidak berhenti dari sekarang.
"Satha...," panggilku. Aku mencoba menahan air mata yang hendak mengalir. Aku harus menyudahi semuanya. Memperpanjang komunikasi kami hanya akan membuat aku menjadi abu-abu. Hidup di antara kenyataan dan mimpi.

KAMU SEDANG MEMBACA
Long Distance Love
ChickLitKisah seorang perempuan yang jatuh hati pada pria yang bahkan belum pernah ia temui. Jarak dan perbedaan waktu memisahkan mereka. Hanya komunikasi lewat email yang mereka lakukan. Hanya satu cara untuk menyatukan mereka, yaitu dengan menghapus jarak...