Bab 2

2.5K 167 71
                                    

NOTE: Kalian bisa ikut menjawab pertanyaan yg diberikan tokoh utama dengan inline comment ya. Dalam kisah ini aku ingin para pembaca bisa lebih talkative dan juga menumpahkan pikirannya. ^^
Setiap orang pastinya mempunyai pendapat dan alasan masing-masing. Dari pertanyaan ini, kalian bisa sekaligus mencoba memposisikan diri dan merenungkannya.

###

Jika kamu dihadapkan pada pilihan antara pacar dan keluarga, siapa yang akan kamu pilih?

Ketika perbedaan keyakinan dan suku menghalangi langkah kalian, apa yang akan kalian lakukan? Mundur atau tetap maju?

***

"Se-serius, Ce??"

Larasati terlihat sangat terkejut. Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku. Ya, semuanya memang benar. Aku mengambil keputusan untuk mengakhiri semuanya. Aku tidak ingin terlarut lebih dalam pada hubungan itu, hubungan yang dimulai bahkan tanpa kusadari.

Satha, pria yang kukenal tiga minggu yang lalu. Awalnya kukira ia hanya bercanda saat berkata ingin kami menjalin hubungan. Sampai akhirnya kusadari keseriusannya. Kami menjalin hubungan selama tiga minggu, hingga aku memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

Aku bukan tidak menyayanginya. Waktu tiga minggu membuat rasa itu mulai tumbuh. Tapi aku sadar, hubungan kami tidak akan pernah berhasil. Selain perbedaan suku yang menjadi pemisah, karena keluarga besarku pasti tidak akan mengizinkan, masalah keyakinan adalah hal yang paling membuat keputusanku tidak tergoyahkan.

Masih teringat jelas malam itu, saat aku memutuskan hubungan kami lewat telepon.

"Kenapa?" tanya Larasati.

"Kamu sendiri kenapa?" Aku membalikkan pertanyaan itu padanya.

"Cece kenapa balik nanya, sih? Kan aku yang tanya duluan," protes Larasati.

Aku menahan tawa melihat ekspresinya itu. Tak lama ekspresinya berubah. Ia meminum greentea latte yang sejak tadi berada dihadapannya. Aku ingat, ia pernah bilang mencoba minuman itu karena penasaran setelah membaca sebuah novel. Itulah kenapa aku suka menulis. Menurutku menulis sebuah cerita tidak hanya sekedar memberi hiburan semata, tapi juga memberi pengaruh pada orang lain, tentunya pada hal yang positif.

"Aku...."

Mendengar Larasati mulai mengeluarkan suaranya, aku refleks mencondongkan tubuhku.

"Semuanya berawal pas aku ultah. Lalu ya gitu ... voila, jadian."

"Kamu ini jadian apa main sulap?" Sindirku.

Bisa-bisanya dia bercerita hanya dengan awal lalu akhir, tanpa ada penjelasan mengenai proses kejadiannya. Aku menatap jengkel pada Larasati yang hanya tertawa.

"Gak penting bagian itunya, Ce. Yang penting kami jadian."

Aku mendengus tidak setuju dengan ucapannya. Tapi sudahlah, toh yang ingin kutahu bukanlah bagian itu.

"Okay, lanjut," ucapku.

"Aku dan dia beda agama dan suku juga pastinya. Juan pernah bilang, kalau dia gak masalah untuk ikut agamaku, asalkan aku gak peegi darinya. Dia juga pernah mengirimi aku lagu, tulus--jangan cintai aku apa adanya. Cece tau lagu itu?"

Aku hanya menjawab dengan gelengan dan cengiran singkat.

"Duh, Ce. Asli suaranya bagus."

Ia terlihat sangat excited menceritakan pria itu. Apa mungkin Larasati masih menaruh perasaan pada laki-laki itu? Lalu kenapa hubungan mereka berakhir?

Long Distance LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang