Panas terik matahari berhasil membuat kulitku menggelap. Sudah dua hari aku melakukan kerja paksa di perkebunan kelapa sawit, melakukan pekerjaan yang berhasil menguras tenagaku seperti; memanjat pohon yang selalu gagal, mengangkat keranjang berisi kelapa dan disuruh para orang tua keriput yang ada di sekitarku. Aku muak. Aku benar-benar ingin kembali ke Jakarta.
"Hah..." bahkan helaan napasku terdengar menyedihkan saat ini.
Aku berjalan memasuki rumah kakek Jono sembari mengusap dahiku yang penuh dengan bulir keringat. Aku duduk di tikar pada tengah ruangan, meluruskan kakiku dan berbaring menikmati hembusan udara sore yang masuk melalui pintu yang tidak aku tutup.
"Aku ingin sesuatu yang manis dan menyegarkan," gumamku membayangkan jus dingin dalam gelas yang biasa aku minum seiap kali aku menginginkannya.
Aku membuka mataku dan bangkit dari tempatku. Aku membutuhkan air. Aku benar-benar kehausan tak tertahankan.
Saat aku berjalan kea rah dapat, kakiku segera terhenti saat mendapati satu karton sedang susu stoberi tergeletak begitu saja di atas meja dapur. Aku menelan ludahku dengan kerongkonganku yang kering.
Meski aku bukan penggemar susu apalagi susu stroberi, tapi minuman itu terlihat begitu menggiurkan.
Tanpa pikir panjang, aku meraih susu karton tersebut, membukanya dan meminumnya sampai tidak bersisa. Bahkan satu tetes pun tidak ada.
"Nikmat," pujiku pada susu stroberi tersebut. Selama aku tinggal disini aku hanya meminum air putih, the dan kopi. Sehingga susu stroberi yang biasa saja bisa menjadi begitu nikmat di kerongkonganku yang kering.
"Saatnya tidur." Aku berjalan menuju kamar dengan perasaan yang bahagia.
***
"SUSU STROBERI CHIKA HILANG!!" teriakan lantang berhasil membangunkan tidur soreku. Aku melirik kea rah jam dinding yang menunjukkan pukul tujuh malam. Aku bangkit dari tempatku duduk dan keluar menuju sumber teriakan yang tak lain si gadis bego, Chika.
"Ada apa?" tanyaku saat keluar kamar dan menggaruk punggungku yang terasa gatal.
"Apa kamu tahu susu di dapur?" tanya kakek Jono yang sedang mengusap kepala Chika yang menangis.
"Kenapa?"
"Itu susu stroberi milik Chika. Chika, hanya ... hiks ... meninggalkannya ke rumah sebelah, hiks ... saat kembali susunya hilang." Chika mulai bercerita dengan isakannya, "Padahal ... hiks ... Chika sudah menunggu lama agar kakek membelikannya saat ke kota ... hiks ..."
Aku diam di tempatku sambil menelan ludahku sambil menatap bingung ke arahnya.
Susu stroberi yang dia maksud itu susu stroberi yang aku minum tadi sore? Apa yang harus aku lakukan?
"Apa kamu melihatnya?" tanya kakek Jono.
"Ah ... itu ..." sepertinya aku harus jujur. Aku laki-laki. "Tidak sengaja aku minum tadi sore."
"APA?!" Chika berteriak sambil membelalakan matanya. Dia berdiri dari tempatnya, lalu berjalan menghampiriku.
"A-aku sedang haus, lalu aku lihat ada susu di atas meja. Jadi aku minum. Lagipula itu hanya susu stroberi, kamu bisa membelinya lagi nanti. Kamu tidak perlu berteriak dan marah seperti itu."
"Kak Surya ... tadi Chika bilang, Chika harus menunggu kakek membelikan ke kota dan kakek jarang sekali ke kota. Jadi bagaimana Chika meminta kakek ke kota? Chika benci kak Surya!" Perlahan bulir air mata menetes di sudut matanya, "kak Surya jahat! Chika gak mau ngomong ama kak Surya!" teriaknya yang pergi masuk ke dalam kamarnya tanpa menoleh ke arahku.
Kakek Jono yang sedari tadi diam, berdiri dari tempatnya lalu menepuk pundakku, "bersabarlah, dia akan mogok bicara padamu beberapa hari saja," ucapnya yang meninggalkanku sendiri.
Aku hanya bisa terkekeh pelan menyadari situasiku. Aku tidak peduli jika gadis bego itu mengacuhkanku, malah aku bersyukur dia tidak mengikutiku seperti penguntit.
Harusnya seperti itu, tapi kenyatannya di acuhkan gadis bego itu serasa begitu mengerikan. Dia tidak pernah membangunkanku yang nyatanya aku begitu sulit bangun pagi, membuatku terlambat pergi ke tempat kerja paksa lalu mendapat omelan mandor dengan ludahnya yang selalu menghujaniku. Dia tidak pernah membelaku saat aku melakukan kesalahan dan mendapat amukan kakek Jono saat di rumah. Belum lagi, dia selalu membuang mukanya saat melihatku.
Sialan. Aku harus menghentikan ini semua. Tidak ada yang boleh mengacuhkan seorang Leonardo Kandou. Bahkan gadis bego itu. Aku harus membuatnya melihat dan berbicara denganku.
"Pak Sukri, siang ini ke kota?" tanyaku pada Sukriman, seorang supir yang mengantar hasil panen dua hari sekali.
"Ya, kenapa?"
"Saya boleh ikut ke kota? Ada yang harus saya beli disana."
Sukriman tersenyum dan menepuk punggung belakangku, "tentu saja. Kamu bisa membantu mengangkat keranjang-keranjang itu, bukan?"
Aku mengangguk dengan senyum lebar.
Baik Chika, tunggu saja. Aku akan membuatmu berbicara denganku kembali.
***
"Chika..." Aku masuk ke dalam rumah, meneriakkan namanya sambil menyembunyikan belanjaan di samping lemari.
"Chika..." panggilku kembali saat berjalan menuju dapur dan menemukannya di sana, "ternyata kamu ada di sini. Apa kamu tidak dengar aku memanggilmu?"
Chika diam tidak menjawab dan berjalan melewatiku sambil membawa piring berisi lauk pauk untuk dia taruh di atas meja makan. Aku mengikutinya dari belakang.
"Hari ini lauknya ikan goreng, lagi?"
Dia diam tak menjawab, malah pergi ke dapur kembali. Sesaat kemudian dia keluar kembali membawa piring dan meletakannya di meja. Aku menangkap tangannya saat dia berdiri di dekatku untuk meletakan piring kosong di depanku yang kini sedang duduk di meja makan.
"Kamu masih marah? Kakak minta maaf ya, sudah meminum susu stroberimu. Kakak tidak tahu dan tidak sengaja," rajuku dengan melembutkan nada bicaraku.
Chika menatap sejenak ke arahku, lalu melepaskan tangannya dariku. Dia masuk kembali ke dalam dapur. Aku mendesis melihat tingkahnya, lalu mengambil sekarton susu stroberi dan menyembunyikannya di bawah meja.
"Hei bocah, mau sampai kapan kamu ngambek seperti itu? Aku sudah minta maaf, bukan?" ujarku yang mulai geram padanya yang kini duduk membelakangiku di sebrang meja. "kamu terlihat jelek saat ngambek, bocah."
"Jangan pangil aku, bocah!" Chika membalikan badan menatap kesal ke arahku dengan muka cemberutnya.
"Oke. Chika, maafkan kakak yang tidak sengaja meminum susu stroberi kesukaan Chika di dapur." Aku menatap Chika dengan memberikan senyuman yang selalu aku gunakkan untuk menggoda para wanita di sekitarku.
"Meski Chika memaafkan kak Surya, susu stroberi milik Chika tidak akan kembali. Dan Chika harus menunggu kakek ke kota untuk membelikannya kembali," ucap Chika merajuk.
"Kalau susu stroberinya kembali, Chika memaafkan kakak?" Aku mengangkat tangan yang kini memegang susu karton ukuran sedang rasa stroberi yang aku beli ke kota tadi siang.
Chika tersenyum lebar sembari merebut susu stroberi dari tangan Leonardo dan segera menusukan sedotan di lubangnya. "Ya. Permintaan maaf diterima," ucap Chika yang sedang meminum susunya sambil duduk tepat di pahaku begitu saja.
Aroma tubuhnya yang sudah dua hari tidak aku cium dan jujur membuatku rindu kini tercium begitu saja, masuk ke dalam hidungku yang langsung terarahkan ke paru-paru dan seluruh tubuhku. Jantungku seketika berdegup kencang menatap Chika yang saat ini terlihat menggemaskan saat dia meminum susu Stroberinya.
"Enak. Kak Surya mau?" tawar Chika yang menatap lurus ke arahku dengan kedua bola mata hitamnya.
Aku menundukkan wajahku mendekat padanya dan menyesap minuman susu stroberi dari sedotan yang dia pegang. "Ya. Susunya stroberinya enak."
Chika tersenyum mendengar ucapanku. Demi apapun, saat ini aku tidak masalah tinggal di tempat antah berantah ini asal dia ada disisiku seperti ini. Di atas pangkuanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXTRA (Her Sweet Breath & His Eyes on Her)
Short StoryKisah mereka yang belum diceritakan sebelumnya; 4K series: • 1.1 - 69 • 1.2 - 143 • 2.1 - Her sweet Breath • 2.2 - His Eyes on Her • 2.3 - EXTRA