Despair

4.1K 242 2
                                    

Suara dengkuran halus terdengar lembut keluar dari bibir pucatnya yang perlahan kembali ke warna semula. Aku meraih beberapa helai anak rambut yang jatuh ke depan wajahnya dan menaruhnya tepat di belakang telinga. Setelah mengangkatnya keluar dari laut, Chika baru bisa tenang dan tidur setelah tiga jam lebih aku memeluknya.

Secara perlahan aku menaikkan kepalanya, menarik lenganku yang dia jadikan bantalan yang aku ganti dengan bantal di atasnya. Setelahnya aku turun dari ranjangnya setelah memastikan tidur nyenyaknya. Aku keluar kamar dan menatap sekelilingku yang kini begitu sepi setelah acara pengajian tetangga sejam yang lalu.

Rumah yang kurasa begitu kecil saat pertama aku berada di sini, entah mengapa terasa begitu besar dan sepi. Aku tidak habis pikir apa yang akan terjadi selanjutnya. Bagaimana nasib Chika nantinya? Apa dia akan sendirian lagi?

"Tidak. Aku tidak akan bisa membiarkannya. Aku akan menepati janjiku untuk berada di sisinya dan menemaninya. Lelaki harus memegang ucapannya," gumamku memantapkan hati. Aku keluar rumah untuk menemui ibu tetangga sebelah. Aku meminta tolong untuk menjaga Chika sebentar saat aku sedang pergi.

Untuk saat ini, aku akan membelikan sesuatu untuk Chika yang sedari tidak makan maupun minum. Aku akan meminta tolong pak Sukri untuk membawaku ke kota mala mini. Aku ingin membelikannya susu stroberi kesukannya dan beberapa makanan yang sangat dia gemari, kue cokelat yang tidak aku sukai. Demi Chika aku akan membelikannya malam. Jadi, saat dia bangun aku akan membujuknya habis-habisan agar dia mau makan. Dia tidak mungkin menolak makanan kesukannya.

Senyuman tipis Nampak di wajahku. Aku membayangkan sedikit senyuman dari wajah Chika saat melihat makanan kesukannya, meski aku tahu hal itu sangat sulit terjadi jika dilihat keadaan saat ini. Kakek Jono menghilang dan belum di temukan keberadannya.

"Leo..." sebuah panggilan akrba terdengar di depanku. Aku mendongakkan kepala menemukan Rekka dan Fajri, bersama beberapa orang dengan mobil hitam di hadapanku. Mereka datang. Mereka benar-benar datang.

Aku berjalan setengah berlari menghampiri mereka, "kalian menemukanku?"

"Yah. Akhirnya kami menemukanmu." Rekka memberikan senyuman lega dan memelukku sesaat.

"Kita harus segera kembali sekarang juga. Waktu kita tidak banyak." Fajri berbicara dengan nada tegasnya.

"Apa maksudmu harus segera kembali? Kalian tunggu dulu di rumah. Kamu antarkan aku ke kota sebentar. Ada yang perlu aku beli," perintahku kepada Rekka dan Fajri. Namun mereka hanya berdiri diam menatapku dengan tatapan yang tidak dapat ku artikan.

"Ada apa? Kalian tahu, muka kalian saat ini terlihat mengerikan."

"Tuan besar meninggal," ujar Fajri.

Aku terdiam menatapnya bingung. Lalu mengalihkan pandanganku kepada Rekka yang menundukkan wajahnya tidak melihatku. "Ha ha ha, jangan bercanda," tawa mengejekku merasa guyonan mereka tidak masuk akal, "jangan bercanda. Lebih baik kalian masuk dulu ke dalam, aku harus pergi sebentar," lanjutku yang kini melangkah mencoba melewati mereka tanpa menerima guyonan bodoh mereka.

Dua orang pengawal berdiri di depanku, menghalangi jalanku dan memegang kedua lenganku untuk menahan langkahku, "apa yang kalian lakukan? lepaskan aku!" geramku yang mencoba melepaskan cengkramannya.

Tanpa memperdulikan perintahku, kedua pengawal membawaku masuk ke dalam mobil setelah mendapat arahan dari Fajri. Sedangkan Rekka yang biasanya membantuku apapun-yang-terjadi sudah pergi masuk ke dalam mobil tanpa menatapku.

"Aku tidak bisa kembali saat ini. Ada yang harus aku lakukan sebe-"

"Kakek meninggal dan kemungkinan besar ada seseorang yang membuatnya meninggal." Rekka kini menatapku dalam saat aku sudah ada di dalam mobil bersamanya.

EXTRA (Her Sweet Breath & His Eyes on Her)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang