Keluarga bahagia adalah keluarga yang berkumpul bersama, bercerita satu sama lain, tertawa bersama, makan bersama dan melakukan segala hal secara bersama. Mereka merasa bahagia akan kebersamaan mereka.
Selama ini aku tidak paham dengan konsep keluarga bahagia seperti itu. aku memiliki keluarga. Ayah dan ibu yang tidak pernah kutemui karena ayah yang sibuk bekerja dan ibu yang memiliki hobi pergi ke kota bahkan ke negara lain untuk memburu keindahan dalam kanvas putihnya. Seorang kakek yang ambisius dan tante yang memiliki keluarga lain.
Kami hanyalah keluarga di atas kertas dan pandangan luar. Prakteknya aku hanya sendirian di bangunan yang di sebut rumah tapi tak terasa seperti rumah. Aku pergi bersenang-senang, menghabiskan uang dan memenuhi keinginanku. Bhkan ketika kedua orantuaku meninggal saat mereka memutuskan berlibur berdua dan mengalami kecelakaan, dimana harusnya sebuah keluarga akan merasa sedih satu sama lain karena kehilangan. Aku. Aku tidak merasakan sama sekali. Hanya kekosongan tanpa rasa.
Namun aku tahu pasti, kekosongan tidak selamanya kosong. Akan ada susuatau yang muncul dalam hidup yang mengisi kekosongan itu, ceperti Chika yang menrobos masuk begitu saja saat aku tidak menginginkannya. Memaksakan kehendaknya akan diriku yang membuatku tidak bisa melupakan rasa yang dia tinggalkan.
Bahkan aku rela menunggu delapan tahun lamanya untuk kehadirannya, mengisi kembali kekosonganku yang sempat dia tinggalkan. Aku juga rela menunggu lima tahun kembali agar dia siap berdiri di hadapanku seperti saat ini. Merapikan sisa makan malam bersama anak perempuan kami, Aneta yang duduk di hadapanku.
"Bagaimana makan malam hari ini, Aneta?" tanyaku pada Aneta yang mencoba menghabiskan puding jeruknya.
"Sedikit ada rasa dari pada biasanya," jawabnya polos dengan sisa puding di pipinya. Aku mengulurkan tanganku untuk membersihkan sisa puding dengan mengusap pipi mungilnya.
"Memang biasanya seperti apa?" tanyaku dengan senyuman jahil ketika Chika melirik ke arah kami di tempatnya berdiri.
"Tidak ada rasanya tapi masih bisa dimakan." Aneta kembali tersenyum dengan sedikit tawa lepas dari bibirnya.
Chika yang mendengar pembicaraan kami, segera menyelesaikan pekerjannya dan menghampiri kami dengan duduk di sebelah Aneta, "jadi Aneta tidak menyukai masakan, bunda?" tanya dengan nada merajuk yang sangat aku kenal.
Ah ... aku ingin segera membawanya dan menikmati makanan penutupku dengan wajah merajuknya itu di kamar.
"Aneta tidak pernah bilang tidak menyukai masakan bunda. Aneta selalu suka masakan bunda apalagi masakan ayah." Aneta kini menatapku dengan senyum manisnya yang membuatku selalu ingin merengkuh tubuh mungilnya.
"Kalau begitu, bagaimana jika ayah saja yang memasakkan makan malam, besok?" tantang Chika dengan wajah marahnya kali ini.
"Absolutely," ujarku yang senang melihatnya marah padaku.
Chika memalingkan mukanya dariku dan menyentuh puncak kepala Aneta dengan senyuman di wajahnya, "setelah selesai makan pudding,bunda akan membantu Aneta menyiapkan keperluan sekolah, besok."
"Apa boleh Ayah yang membantu Aneta malam ini? Aneta ingin ayah membacakan cerita sebelum tidur." Aneta menatap ke arah Chika dengan penuh harap, yang tanpa perlu persetujuan Chika, aku pasti akan melakukannya.
"Tentu saja, my princess." Aku bangkit dari tempatku duduk dan memberikan tanganku kepada Aneta yang sepertinya sudah menyelesaikan makanan penutupnya. Dia meletakkan sendoknya, turun dari kursi dan meraih tanganku.
Kami berjalan menaiki tangga dan berkedip ke arah Chika seakan aku memenangkan sesuatu, karena selama ini dia selalu yang membacakan cerita sebelum Aneta tidur ketika aku masih sibuk dengan pekerjaan dan kemacetan. Tapi tidak kali ini.
Dengan Aneta dalam gendonganku, kami memasuki kamar atas yang berada tepat di samping kamar utama kamarku dan Chika. Kamar yang aku tata sendiri selama dua bulan saat menunggu Chika dan Aneta menyelesaikan beberapa berkas kepindahan mereka kembali bersamaku.
Warna biru laut dinding kamar menyambut kami berdua ketika kunyalakan lampu kamarnya. Kebanyakan anak perempuan menyukai iwarna merah muda tapi tidak dengan putri kecilku yang lebih menyukai biru laut. Mengingatkannya akan langit dan laut yang sering dia kunjungi hampir setiap minggu bersama Chika dan yang lainnya. Jujur saja, aku merasa sedikit cemburu dengan kedekatan mereka yang dengan mudah berlibur setiap minggu ke pantai.
"Jadi, apa yang Aneta perlukan untuk besok?" tanyaku yang sudah membuka tas ranselnya yang kosong. Aku berdiri di depan meja belajarnya, sedangkan Aneta masih duduk di atas ranjang, tempatku menurunkannya.
"Hum..." Aneta menunjuk dagunya sendiri dengan telunjuk kanan seakan berpikir, "buku tulis kotak besar ..." kuraih buku kotak besar bersampul cokelat yang langsung kumasukkan, "peralatan tulis, buku bergambar dan ..." kuambil semua barang yang dia sebutkan dan menunggu, "kotak krayon."
"itu saja?" tanyaku saat memasukkan benda terakhir. Aneta mengangguk yakin, tapi tidak denganku yang memberikan tatapan menggoda padanya, "apa kamu yakin tuan putri?"
"Tentu saja."
"Bagaimana dengan mainan? Apa kamu tidak membawa mainan ke sekolah?"
Seakan aku memberikan ilham padanya, Dia turun dari ranjang, berlari kecil ke kotak mainannya dan membawa satu boneka lumba-lumba dan sebuah gelan manik.
"Boneka lumba-lumba dari tante Kira dan aksesoris buatan tante Kadek." Aneta memberikan boneka dan aksesoris itu padaku yang langsung aku masukkan ke dalam tasnya secara paksa karena boneka lumba-lumbanya sedikit lebih besar. Jadi aku tidak menutup rapat tasnya.
"Aneta akrab dengan tante Kira dan tante Kadek? Ayah sedikit iri," ujarku menggoda pada Aneta yang memberikan senyuman dan memelukku.
"Aneta sangat sayang ayah." Kuberi dia senyuman dan mengecup puncak kepalanya.
"Ayo tidur! Hari ini Aneta mau mendengarkan cerita apa?" ujarku yang mengajaknya kembali ke tempat tidur, "Cinderella, putri salju atau ..."
"Cerita pertemuan ayah dan bunda," ujarnya yang kini merapikan selibut tipisnya pad tubuhnya.
"Kamu tidak bosan mendengarkannya?"
"Tidak akan pernah."
Aku pun naik ke atas ranjangnya dan bersandar di sampingnya yang sudah berbaring. Aku mulai bercerita mengenai pertemuanku dengan Chika dengan setting yang sedikit kurubah, seperti Chika yang seperti putri duyung menyelamatkanku dari lautan menuju sutu pulau dengan kakek Jono sebagai raja di pulau terpencil dan lainnya yang membuatnya tersenyum dan tertidur.
Kukecup dahi mungilnya saat dengkuran halus dan teratur terdengar dari mulutnya. Kumatikan lampu kamarnya saat sudah kupastikan dia terlelap dan keluar dari kamarnya perlahan tanpa suara. Kucari sosok Chika di dapur melalui lantai atas, tapi lampu yang mulai padam membuatku yakin dia sudah tidak ada di bawah.
Aku berjalan menuju kamar kita, membuka pintu dan menemukan Chika sedang duduk di atas ranjang sedang membaca buku dengan pakaian tidur kesukaanku. Kulangkahkan kakiku mendkat, menaiki ranjang dan merangkak mendekat padanya. Kuambil buku dari tangannya yang menghalangiku dengan Chika.
"Apa kamu sudah membantu Aneta bersiap untuk besok?" tanyanya saat kutaruh bukunya di atas ranjang.
"Tentu saja. Dia juga tidur dengan tenang dan memberi waktu untuk kita berdua malam ini," godaku yang mengecup pelang pipi kananya. Dia terkekeh.
"Waktu untuk apa?" tanyanya dengan kedua tangannya merangkul leherku. Tanpa kujawab aku menempelkan begitu saja bibir manisnya.
"Untuk membuat tim baseball keluarga," godaku dengan berbisik di depan bibirnya yang kukuasai kembali. Dia tersenyum dan membalas ciumanku. Malam ini, dan malam yang akan datang aku akan selalu ada untuknya. Karena konsep keluarga bahagia yang aku ketahui untuk saat ini adalah hidup bersama Chika dan anak kami berdua. Tanpa mereka aku hanya kekosongan tak berarti.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXTRA (Her Sweet Breath & His Eyes on Her)
Historia CortaKisah mereka yang belum diceritakan sebelumnya; 4K series: • 1.1 - 69 • 1.2 - 143 • 2.1 - Her sweet Breath • 2.2 - His Eyes on Her • 2.3 - EXTRA