"Malam ini kita kencan di pasar malam, yuk?"
Ajakan siang tadi yang aku anggap sebagai angin lalu, kini menjadi kenyataan. Seorang gadis perawan yang pertama kali mengajakku pacaran dalam hidupku selama 19 tahun, kini menggenggam erat tanganku menyusuri jalanan setapak menuju sebuah pasar yang mulai ramai di ujung jalan.
Sambil melompat-lompat bagai seekor kelinci kecil, Chika menggumamkan sebuah lagu yang tidak aku kenal dan menggoyangkan tangan kami ke depan dan belakang.
"Ayo cepat! Pasarnya mulai ramai," serunya yang kini menarik tanganku. Aku mendesah pendek mengikutinya sambil berlari kecil. Chika menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya ke arahku, "kak Surya, mau beli apa?"
"Hum..." Aku diam melihat sekelilingku yang rata-rata berjualan barang kelas bawah yang tidak bakal aku lirik sedikit pun. "Entahlah," ujarku sambil menaikkan kedua bahuku.
"Ah! Kemeja itu cocok untuk kak Surya," teriaknya yang kini melesat pada sebuah tenda kecil yang menjajalkan sebuah pakaian yang terlihat kusut. Chika berjongkok pada tumpukan baju dan mengambil sebuah kemeja polos berwarna kuning polos. Dia berdiri dari tempatnya dan menghadapku kembali yang sudah ada di sampingnya, "lihat, kemeja ini cocok buat kak Surya," ujarnya yang membuka lebar kemeja itu dan menempelkannya di atas tubuhku.
"Wah, adik pintar sekali memilihkan baju buat kakaknya," ujar bapak-bapak kurus penjual pakaian itu.
"Kak Surya bukan kakak Chika. Dia pacar Chika," rajuk Chika yang kini mengaitkan tangannya pada lenganku, membuat tubuhnya begitu dekat denganku sehingga aku bisa mencium aroma yang aku sukai dari tubuhnya.
"Masih kecil udah main pacar-pacaran. Zamannya bapak, gak ada pacaran langsung kawin."
"Ini zaman modern, pacaran dulu baru kawin," jawab Chika sambil memajukkan bibirnya yang terlihat menggemaskan. Aku hanya bisa melihatnya sambil menahan tawaku dengan perdebatan mereka berdua.
"Ya sudah, bajunya jadi di beli tidak?"
"Jadi. Buat Chika, 15 ribu ya pak."
"Mana boleh, neng. Itu harga pasarannya 40 ribu."
"Ayolah. 15 ribu sebagai pelaris," rayu Chika sambil memandang penuh harap dengan kedua mola mata hitamnya yang rupawan.
"35 ribu deh neng."
"15 ribu."
Aku hanya bisa menggarukan kepala melihat perdebatan mereka. "Sudahlah. 35 ribu saja Chika," ucapku yang merasa harga penawaran Chika terlalu rendah. Pak penjual tersenyum setuju padaku, sedangkan Chika memberikan tatapan tajam yang menusuk bagai belati yang siap mencincangku.
"15 ribu. Kalau gak boleh, Chika gak jadi beli," ucap Chika yang melepaskan kemeja itu pada tumpukan pakaian yang lain dengan wajah sedih, yang entah mengapa terlihat di buat-buat. Dasar bocah nakal.
Bapa penjual menggarukkan kepalanya dan menghela napas panjang, "ya sudah 15 ribu. Tapi jangan bilang yang lain kalau bapak kasih 15 ribu."
"OK!" seru Chika lantang dengan wajah berseri. Pak penjual memasukkan kemeja pilihan Chika ke dalam kresek putih setelah Chika memberikan uang padanya.
Chika mengaitkan lengannya kembali padaku dan menyeretku menjauh setelah melambaikan tangan kepada penjual dan mengucapkan terima kasih padanya. Saat agak jauh, Chika menarik tubuhku mendekat padanya dengan sedikit merendah. Aku dapat melihat wajah manisnya pada remangan cahaya jalan pasar dan mencium aromanya yang kuat, membuatku ingin memeluknya. Apalagi bibirnya yang terlihat ranum.
"Kak Surya, lain kali jangan ikut bicara saat Chika sedang menawar. Nanti jatuhnya mahal," ancamnya yang kini kembali memberikan tatapan tajam sesaat, lalu berubah menjadi sebuah senyuman. Mengerika. Bocah satu ini sedikit mengerikan.
KAMU SEDANG MEMBACA
EXTRA (Her Sweet Breath & His Eyes on Her)
ContoKisah mereka yang belum diceritakan sebelumnya; 4K series: • 1.1 - 69 • 1.2 - 143 • 2.1 - Her sweet Breath • 2.2 - His Eyes on Her • 2.3 - EXTRA