Setelah Ricky mengantarku ke UKS, dia langsung pergi. Aku tanya mau ke mana, dia jawab kalau mau membelikanku teh hangat. Memang, aku kedinginan. Bahkan, aku tak sempat membelikan Lala teh hangat juga.
Aku sudah mengganti bajuku, dengan seragam olah raga yang kebetulan masih kusimpan di loker kelasku. Sekolahku memang menyediakan loker di setiap kelasnya. Yang diletakkan tepat di belakang bangku kami. Loker untuk tiap anak menaruh barang-barang milik mereka di sana jika perlu.
"Lo nggak, apa-apa, La?" tanyaku pada Lala.
Dia merintih kesakitan sambil memegang pelipisnya, setelah membuka mata. Tubuh putih Lala semakin putih seolah-olah tidak ada darah di sana. Rendy memang pantas mendapatkan tamparan Lala. Karena dia itu cowok banci yang beraninya sama cewek. Aku benci dia!
"Rasanya masih sedikit pusing, Lam... kita masih di Sekolah?"
"Iya, gue udah nelfon Mama elo. Bentar lagi supir yang ngejemput lo akan datang." jawabku. Lala kan anak orang kaya, jadi sudah tidak heran kalau ke mana-mana dia sama supir.
Bahkan, aku kadang sampai sungkan. Kok bisa, orang seperti Lala mau berteman denganku. Genta pun tak ubahnya seperti Lala. Mereka itu adalah sahabat sejatiku, sebab... meski mereka kaya, mereka tidak pernah pilih-pilih dalam berteman.
"Lo kok pakek seragam olahraga? Emang tadi ada pelajaran olahraga, Lam?" tanya Lala terkejut. Padahal dia tahu, tadi tidak ada pelajaran olahraga.
"Elo mau olahraga? Atau mau diet?" tanyanya lagi, bingung. Aku juga.
Aku bingung menjelaskan kepada Lala sebab aku ganti baju, tapi sepertinya Lala lebih bingung dariku. Apakah yang dilakukan Rendy padanya berakibat fatal? Aku tak tahu.
Dan, di mana Ricky? Kenapa dia lama sekali? Padahal, kami sedang membutuhkan teh hangat itu.
"Kok bisa, sih, Lala pingsan?" tanya Rian yang sedari tadi diam. Dia tidak bertanya apa-apa saat aku, Arya dan Lala masuk ke sini. Sepertinya, dia terkejut, tadi.
"Dia tadi kepentok tembok." jawab Arya. Itu adalah jawaban terngawur yang pernah aku dengar. Tapi, setidaknya, tidak ada salahnya juga. Karena biar bagaimana pun, kan... tidak mungkin kami bilang kalau Lala pingsan karena dipukul Rendy.
Bukan karena kami takut kalau Rendy akan balas dendam. Hanya saja, ini sudah terjadi. Lagi pula, jika masalah ini berbuntut panjang yang ada Lala yang terancam.
Tapi aku tidak tahu, kalau lala memiliki niat untuk pergi ke kantor polisi dengan orangtuanya demi mengadukan hal ini. Toh itu urusan mereka, aku sudah tidak ada sangkut pautnya lagi.
"Elo, La... masak tembok elo cium, sih! Kan udah ada Genta." ledek Rian. Rupanya, dia pandai meledek juga.
"Bosen nyipok Genta, Yan."
"Hahaha garing, La!"
"Hahaha!" ternyata, mereka sinting juga.
"Ricky mana, Lam? Ngapain sih, dia? Kok nggak sekolah sampai dua hari?"
"Dia ada urusan keluarga." jawab Arya saat Rian bertanya. Padahal, aku baru mau menjawab. Oh ya, aku lupa. Arya kan sahabat Ricky, pastilah dia tahu jika Mama Ricky kemarin ulang tahun.
"Ngomongin gue?" tiba-tiba Ricky datang, sambil membawa kantong plastik berwarna hitam. Aku tebak, di dalam sana ada teh hangat pesananku pun Lala.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNFORGIVEN BOY
Teen FictionBertemu dengannya adalah anugerah, karena dia menunjukkan ku sisi lain dunia yang tak pernah ku lihat. Mengenalnya adalah kebahagiaan, karena dia memberi ku warna lain dalam hidup yang tak pernah ku tahu.. Bersamanya adalah mimpi, karena dia membuat...