S E P U L U H

22.2K 1.9K 104
                                    

Author note-ku di bawah mohon jangan dilewatkan yaaaa, harap di baca dengan seksama.


###



Yura memandangi langit kelabu yang menaungi cuaca siang ini yang seharusnya panas. Cuaca mendung dan gloomy seperti saat ini sangatlah tidak membantu hatinya yang juga tengah merasakan hal serupa. Sudah seminggu ini Yura sama sekali tidak berbicara dengan Kafin. Kafin juga nampak memberikan Yura ruang untuk bernafas dan bergerak meskipun terkadang suaminya itu berusaha mendekatinya untuk berbicara. Ibu Teti—ibunda Yura—juga masih setia menemani Yura setiap harinya hingga beliau merasa anaknya itu sudah mulai nyaman dengan kondisinya yang kini tengah berbadan dua.

"Neng, makan siang dulu yuk. Catering-nya sudah ibu panaskan."

Suara Ibu Teti yang khas itu berhasil menarik perhatian Yura dari jendela besar kamarnya yang memperlihatkan warna kelabu pekat sang cakrawala. Ia mendesah pelan lalu berjalan menuju ambang pintu dimana ibunya tengah menunggu. Selama ibunya tinggal di apartemen Kafin, Yura berusaha sekuat tenaga untuk menghormati dan menuruti seluruh titah sang ibunda. Meskipun ia masih merasa janggal dengan kondisi kehamilannya ini, Yura berusaha mati-matian berkomunikasi sesering mungkin dengan si jabang bayi agar ia lebih cepat terbiasa dan terbentuknya ikatan batin antara ibu dan anak—itulah yang terus Ibu Teti sarankan agar Yura mau menerima kandungannya dengan ikhlas.

"Kalau makan siang gini, Kafin gimana, Neng? Suka makan siang bareng kamu?" tanya Ibu Teti ketika keduanya kini sudah duduk di meja makan kecil yang penuh dengan makanan menggiurkan hasil pesanan catering sehat.

Memang sedikit mengocek uang saku untuk catering sehat itu, namun Kafin tidak peduli seberapa banyak biaya yang dikeluarkannya asalkan Yura mendapatkan nutrisi dan diet yang sehat untuknya juga si jabang bayi yang terus berkembang di dalan perut Yura.

"Kadang-kadang saja sih, Bu. Kerjaannya Kafin kan sibuk banget, banyak mobilitasnya, apalagi kalau klien-nya minta ketemu pas jam makan siang, Kafin nggak bisa nolak. Biasanya Kafin makan sendiri bareng sama partner-nya atau ya sama klien itu tadi." jelas Yura sembari memulai menyantap salmon steak dengan bumbu miso butter dan rebusan salad sayur serta kentang tumbuk keju.

"Kamu nggak pernah buatin bekal untuk Kafin?" tanya Ibu Teti lagi yang juga kini tengah menyantap makanannya dengan menu yang sama seperti Yura.

Yura menelan makanannya lalu menyesap air putih yang sudah di-infused dengan buah lemon—favoritnya, "Nggak sempat, Bu. Aku sama Kafin pagi-pagi sekali udah berangkat kantor supaya nggak kejebak macet."

Ibu Teti mendesah pelan lalu menjulurkan tangan kirinya untuk menggenggam tangan kanan anaknya itu. Yura yang tengah menikmati makanannya terkesiap mendapati telapak tangan kiri ibunya itu menangkup tangan kanannya. Kedua matanya beralih menatap sang ibunda yang juga sedang menatapinya dengan tatapan penuh makna. Yura mendesah. Tatapan penuh makna ibunya itu berarti long talks. Ibunya nampak antusias untuk memberikannya wejangan yang sekiranya dibutuhkan oleh Yura saat ini.

"Ibu tahu kamu pasti sebal sama ibu. Tapi ibu harus berbicara sama kamu sebelum sikap kamu yang justru akan berdampak kepada keutuhan rumah tangga kamu dan Kafin."

Melihat Yura yang memilih diam, Ibu Teti melanjutkan, "Awal-awal pernikahan itu sulit sekali, Neng. Bahkan untuk pasangan yang katanya saling cinta pun akan sulit. Pernikahan tidak seperti yang banyak anak gadis bayangkan. Pernikahan itu perlu penyesuaian, dan yang terpenting adalah pengorbanan. Ibu nggak tahu alasan Yura menerima lamaran Kafin, hanya Yura yang tahu. Yang ibu tahu, kamu nggak pernah pacaran sama Kafin dam tiba-tiba saja Kafin datang kerumah menyampaikan maksud untuk meminang kamu langsung sama ibu dan ayah. Ibu senang ternyata lelaki seperti Kafin yang akan menjadi calon suami kamu, tapi ibu nggak pernah bertanya apa alasan kamu menerima pinangan Kafin."

Bound By MarriageTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang