Adikku, Alisha, divonis oleh dokter yang menanganinya, mati.
Ya. Alisha mati.
"he...he...he...HAHAHAHAHA tidak mungkin...Alisha...tidak mungkin..." Aku tertawa gila.
Pak Tenjo terdiam. Sementara Agni menagis tersedu - sedu. Walau di ruangan itu aku tidak sendiri, tapi entah kenapa aku benar benar kesunyian.
Perasaan apa ini? Sangat menusuk. Sampai - sampai aku sulit untuk bernafas.
Aku mendatangi Agni dan memegang pundaknya.
"Agni, kenapa kau menangis?"
"A-Ali-A-Ali-...sha"
"Tidak Agni. Alisha tidak mungkin mati. Pasti..." mataku menjadi liar. "Oh...aku tahu...ini pasti april mop kan?"
Aku langsung memegang keras pundak Sang Dokter.
"Pak Dokter pasti bohong, kan?" Aku menyikut pinggangnya. "Karena hari ini April mop kan? Dokter bisa saja..."
Dokter itu hanya terdiam.
Aku mengguncang - guncangkan badannya. Setidaknya, aku ingin satu kalimat keluar dari mulutnya. Seperti 'kejutan, aku telah berbohong' atau 'hehehe...maaf telah menipumu' atau yang sejenisnya.
"DOKTER!!!" aku tak sadar telah berteriak kepada sang Dokter.
Aku terus bertingkah seperti orang yang kehilangan akal. Kesana kemari mencari - cari alasan untuk tidak menerima kebenaran.
Ya. Aku tidak bisa menerimanya!
"Asa..." seseorang memanggilku dari di belakangku.
"Juda---" tak sempat aku menjawabnya, Ia mendaratkan pukulan ke perutku. Membuatku kesadaranku perlahan menghilang.
Pandanganku semakin buram. Aku melihat wajah Judas yang semakin dekat. Aku tahu dia berbicara, namun entah kenapa aku tak bisa mendengarnya. Aku takut untuk mendengarnya. Kenyataan itu begeitu berat bagiku. Ini benar benar tidak adil.
Akhirnya pandanganku menjadi gelap.
~000~
Karena kondisiku yang sedang terluka. Akupun dirawat di rumah sakit untuk sementara. Rumah sakit ini merupakan rumah sakit milik keluarga Judas, sehingga dia yang mengurus semua administrasi dan biayanya. Sementara pekerjaanku di Lot A Lot café , telah diurus sementara waktu. Agni sering sekali datang menjengukku. Ia terus berbicara dengan beragam ekspresi. Terkadang ia ceria. Tiba tiba ia menangis. Terkadang juga ia tertawa terbahak - bahak. Namun, aku tak bisa mendengar apapun dari mulutnya.
Judas juga kadang menjenguk. Namun tak ada sepatah katapun yang ia ucapkan. Hanya membaca semacam buku, membawakan bunga , kemudian pergi. Pak Tenjo juga terkadang menjengukku. Ia sering membawa bingkisan setiap kali datang. Begitu pula beberapa rekan kerjaku, mereka melakukan hal yang sama.
Salah satu yang aku terima dari mereka adalah sebuah surat. Surat itu berisi kalimat, Semoga cepat sembuh dan jangan terus bersedih ya....
Aku tidak mengerti dengan mereka.
Bukan aku yang sakit saat ini. Tapi Alisha.
Bukan aku yang bersedih saat ini. Tapi Alisha. Alisha pasti saat ini sedang kesepian. Sendirian tanpa ada aku.
Mereka benar benar tidak mengerti.
Beberapa hari kemudian, aku memutuskan untuk pulang ke rumah. Saat kubuka pintu, terbayang bagaimana dulu Alisha menyambutku. Sekarang... benar benar hampa.
Setelah menghidupkan lampu ruangan, aku memutuskan langsung menuju ke lantai dua. Disana kulihat garis polisi yang menyegel kamar adikku.
Kucoba untuk masuk ke dalam kamarnya. Ternyata benar, itu bukan mimpi.
"ARRGH" Aku mengerang kesakitan.
Kepalaku seperti tertusuk tusuk jarum tajam. Kucoba untuk tetap sadar, namun rasa sakit itu semakin bertambah. Seolah dunia berputar di sepanjang mataku. Langkahku terhoyong - hoyong.
"ARRHHH!!" Akupun membenturkan kepalaku ke dinding. Lagi dan lagi.
Cipratan darah itu mengenai wajahku. Pandanganku menjadi merah. Perlahan kesadaranku mulai berkurang. Langkah semakin tergopoh. Kucoba untuk turun ke lantai bawah. Karena terpeleset, akupun terjatuh.
Brakk!
Akupun pingsan seketika.
Beberapa jam kemudian...
Akupun tersadar. Namun pandanganku masih samar. Kucoba untuk rileks sebentar.
Tanganku berusaha menopang tubuh agar bisa duduk. Kuperiksa kepalaku ternyata sudah diperban. Masih terasa perih.
Ada sesuatu diatas mejaku. Kucoba untuk meraihnya.
Sepiring nasi goreng dan sebuah surat diatasnya.
'Jangan gegabah. Jaga kesehatanmu. Ttd : Agni dkk'
Setelah agak mendingan, aku mencoba untuk melihat kamar adikku lagi.
Kali ini aku dapatkan gambaran yang jelas.
Banyak sekali bercak darah yang terciprat. Kasur itu rusak. Meja dan kursi patah. Seolah terjadi pertarungan yang sengit. Tapi apa yang bisa dilakukan oleh Alisha? Dia kan lumpuh?
Di lantai ada sebuah foto. Foto itu telah ternoda merah. Tapi aku sangat yakin, kalau itu adalah fotoku bersama dengan Alisha.
Air mata itu mengalir tanpa sepengatahuanku. Semakin panjang dan deras.
Ya, Tuhan. Kenapa harus Alisha? Kenapa...
Aku tak tahu apakah tetangga terganggu dengan isak tangisku yang tak karuan. Yang jelas, aku benar - benar menangis seperti anak kecil.
Bayang - bayang Alisha selalu datang menghantuiku. Siang dan malam. Terjaga maupun tidur. Aku tak tahu harus berbuat apa...
Hari terus kulalui dengan penyesalan. Semakin hari aku semakin tak ingin untuk pergi dari rumah ini. Aku hanya termenung. Saat menonton, saat Mandi, saat makan, aku hanya bisa termenung dan menangis.
Begitulah keseharianku. Sampai aku tak menyadari kalau sudah satu bulan tidak beranjak keluar rumah. Ya. Aku menjadi seorang hikikomori.
~000~
Apakah dia akan terus begini?
Kalimat itu terus mengelilingi kepalanya.
"Agni-chan~""kata Pak Tenjo. "Kamu kepikiran Asa terus ya?"
Ucapan Pak Tenjo memecah lamunannya.
"E-E...iya...Padahal aku terus membawakannya makanan, tapi dia tidak tersenyum sedikitpun. Aku khawatir dia akan menjadi hikikomori." Ucap Agni sambil mengerutkan dahinya.
"Kalau begitu teruslah berjuang. Bukankah Agni-chan menyukai Asa?" Goda Pak Tenjo.
Agni langsung salah tingkah. Piring yang sedang dia pegang, terjatuh.
"AAA...Pak Tenjo!!!" wajahnya memerah.
Sementara itu pak Tenjo dn karyawan yang lain tertawa.
Agni langsung mengambil alat untuk membersihkan serpihan kacanya. Kemudian pergi keluar dari pintu belakang. Ia menundukkan pandangannya. Dia hanya berdiam diri menatap semut semut yang berbaris.
Mungkin...dia ingin menangis...
~000~
KAMU SEDANG MEMBACA
Reverse ME
Детектив / ТриллерSiapa yang tidak menginginkan dunia penuh dengan keadilan. Presiden, menteri, gubernur, bupati, pedagang, mahasiswa, petani, bahkan pengangguran sekalipun. Semuanya menginginkan keadilan. Semua orang mendapatkan apa yang menjadi haknya dan melaksan...