Enam

793 29 0
                                    

BRUMMM...

Sebuah mobil mercy slk putih melaju anggun, memasuki parkiran West Hill House, apartemen mewah tempat Ali tinggal selama ini. Ia keluar dan berjalan santai menuju kamarnya.

"Good afternoon, Sir.." Seorang petugas keamanan menyapa Ali deegan hormat.

"Good afternoon.." balas Ali.

Ia pun masuk ke lift yang meluncur naik membawanya ke lantai 17. Pintu lift terbuka. Saat ini Ali sudah sampai di depan pintu kamar apartemennya. Dengan penuh keyakinan, ia mencari kuci di bawah keset.

Eh, nggak ada!

Ali mengernyitkan dahinya. Sekali lagi ia mencari kunci di bawah keset. Tetap tidak ada. Ali mulai curiga. Tapi untuk menepiskan keraguannya, ia pun memencet bel.

Pintu terbuka.

"Hai.." dengan wajah ceria dan hanya mengenakan kaos san boxer yang kebesaran, Asyifah menyambut Ali di apartemennya sendiri. "Gpp kan kalo aku pake baju kamu?"

Wajah Ali terlihat syok.!

"Kamu belum pergi?" Tanyanya dengan nada ketus.

Asyifah membalasnya dengan tawa. "Kenapa aku harua pergi? Pertama, aku nggak minta dibawa ke sini semalam, tapi kamu yang bawa aku ke sini. Kedua.." Raut muka Asyifah mendadak berubab sedih.

"Aku sekarang udah nggak punya tempat tinggal lagi di sini. Aku nggak gau harus kemana. Aku bahkan nggak punha uang sama sekali. Terus, aku mesti tidur di mana? Kalo tau bakal kayak gini, lebih baik kamu biarin aku loncat aja kemarin!"

Asyifah kembali menangis.

Aduhhh... Ali mengeluh dengan drama yang Asyifah perlihatkan. Tapi tetap saja ini membuatnya panik. Ia tidak ingin menarik perhatian para penguni apartemen yang lain.

"OK, OK! Kalo gitu, kamu boleh di sini. Tapi untuk sementara.." ujar Ali.

Asyifah menatapnya tajam. "Jadi kamu nggak keberatan?"

Ali mengangkat bahunya. "Nggak." Jawabnya santai.

Senyum Asyifah melebar. Tubuhnya langsung ia sandarkan pada tubuh Ali, layaknya seorang anak kecil yang meminta digendong.

"Eehh, apa-apaan sih?" Protes Ali. Ia medorong tubuh Asyifah.

"Oh, aku nggak boleh peluk, yaa? Tapi, aku boleh cium tangan kamu kan?" Permintaan Asyifah semakin ngawur.

"Buat apaan?" Tanya Ali curiga.

"Karena kamu udah baik banget sama aku." Ujarnya dengan tersenyum.

Tetap saja Ali tidak bisa menerima sikap aneh Asyifah ini. "Udahlah, nggak usah pake acar kayak gituan."

Namun Asyifah tidak peduli. Ia mengambil paksa tangan Ali dan mencium tangannya layaknya seorang anak kecil.

Cup..

Satu kecupan lembut mendarat ditelapak tangan yang cukup besar milik Ali.

"Stop it!" Ali menarik paksa tangannya dengan paksa.

"Eh, kamu pasti laperkan. Aku baru aja bikin pancakes. Makan yuk!" Tanpa rasa canggumh sedikit pun, Asyifah memarik lengan Ali masuk ke dalam.

Walau dongkol, tapi Ali tetap membiarkan tubuhnya diseret oleh Asyifah. Ia hanya tidak ingin Asyifah sampai mengeluarkan jurus tangisnya lagi.

Tapi baru beberapa langkah masuk ke dalam, Ali sudah berhenti.

What the...

Raut mukanya mulai berubah. Rasanya seperti ada asap yang keluar dari dalam hidung dan telinganya. Sebuah pemandangan 'indah' terhampar di depannya. Matanya menghitung jumlah kekacauan yang sedang terjadi didalam kamar apartemennya.

1. Handuk di atas TV yang menyala.
2. Majalah, buku, dan CD yang berserakan disembarang tempat.
3. Bekas kaleng soda, bungkus chips, permen, dan snack yang berhamburan.
4. Beberapa baju miliknya yang tergeletak begitu saja di atas Sofa.

Betapa kagetnya saat Ali melihat pemandangan seperti ini di dalam kamar apartemennya yang selalu terlihat rapi. Namun saat ini berbeda.

Kepala Ali menggeleng dengan keras. Cewek psiko!  Makinya dalam hati. Ia buru-buru mencari-cari keberadaan remote  TV.

"Remote TV mana?!" Tanya Ali tegas.

"Uhmmm... dimana ya tadi?" Jawab Asyifah dengan kalemnya.

"KAMU!!" Telunjuk Ali mengacung gemas pada Asyifah. Tapi, emosinya langsung mereda. Ia berusaha meredamnya. "Ya Tuhan.. ini apartemen udah kaya kapal pecah!"

Ia kembali memcari remote TV yang ternyata ada di dekat perapian. Ia menyambar remote dan mematikan TV dengan emosi. Ali kemudian menoleh mencari Asyifah yang sekarang malah berada di dapur, menghabiskan makanam Ali. Dapur pun tak kalah berantaknya dari ruanh tamu.

"Kamu mau?" Kata Asyifah dengan cuek.
Ali semakin geram. Apalagi saat ia melihat Asyifah mengelap sisa saus di ujung bibirnya dengan ujung kaus yang saat ini Asyifah gunakan. Sepertinya gunung emosi Ali sudah berada di tingkat tinggi, dan siap untuk meletus.

"Eh, kapan kamu keluar lagi?" Sergah Asyifah.

"Kenapa emang?" Tanya balik Ali dengan emosinya.

"Beliin aku daleman, ya!" pintanya.

"Whatt?"  balas Ali dengan ekpresi kagetnya.

"Iya, kamu mau keluar, kan? Nah, nanti kalo balik, jangan lupa mampir ke Mall. Belikm aku daleman."

Ali hanya bengong.

"Duh, belaga polos deh kamu. Itu... maksud aku, celana dalem... beha.. ngerti? Udah pernah liatkan?" Jelasnya panjang lebar.

Ali menarik napas. Dengan kesal ia mengeluarkan dompetnh dan mencabut beberapa ratus pounds lagi. "Kalo uang yang aku kasih tadi pagi kurang, nih! Kamu beli sendiri aja keperluan kamu. Tapi, please.. go! Aku udah cukup bantu kamu."

Ali berbalik dan meninggalkan Asyifah sendirian, sambil meninggilkan bunyi tutupan pintu yang cukup keras.

What a crazy day for Ali!

"Love is the bridge between you and everything" - London Love Story.

#tbc

London Love Story (Aliprilly)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang