SATU

105 5 0
                                    


Sore baru saja hilang ditelan senja. Coffee Shop bernuansa vintage ini temaram, memberikan kesan romantis. Seharusnya aku menikmati suasana yang disuguhkan itu. Nyatanya, aku malah menunduk untuk menilik sepatu orang-orang yang berseliweran di sekitarku. Menebak-nebak orang macam apa yang mengenakannya.

Permainan konyol. Hanya saja, aku sudah terlanjur jatuh cinta pada permainan itu. Sudah menjadi kebiasaan saat aku sedang diam.

Ehemm. Sebenarnya diam yang kumaksud saat ini adalah sengaja tidak berbuat apa-apa. Aku sedang bersama seseorang. Seorang wanita tepatnya. Dia adalah orang yang dijadwalkan kencan bersamaku malam ini oleh Fred, abangku yang kurang kerjaan. Bodohnya, aku menurut saja saat ia merekomendasikan blind date gila ini. Yang pada akhirnya, kugagalkan dengan aksi bungkam.

Wanita itu―aku lupa namanya―adalah orang kelima yang datang untuk berkencan denganku minggu ini. Tapi, dia juga yang paling bisa bertahan dalam keheningan tebak-tebakkan sepatu yang kumainkan seorang diri. Empat wanita sebelumnya sudah kapok di menit ke-20.

Ini sudah menit ke-50, dan wanita itu masih bertahan. Ia juga tak menunjukkan gejala bosan. Ia tak seperti wanita-wanita sebelumnya yang pura-pura sibuk dengan ponsel mereka. Ia betah berlama-lama menyesap kopi, membaca buku di tangannya, juga sekaligus mengamatiku. Aku tak bicara. Sedikit bingung karena wanita itu sama sekali tak gentar.

"Lo nggak bosan?"

Wanita itu mendongak. Kali ini aku ingat namanya. Merly.

"Nggak. Diam nggak berarti bosan."

Menarik.

Aku berniat untuk kembali bungkam. Namun, tiba-tiba saja rasa penasaran membuatku bicara lebih banyak dari yang seharusnya.

"Lo adalah perempuan pertama yang betah diem-dieman sama gue. Seenggaknya selama periode kencan buta ala orang putus asa kayak gini." Aku bahkan terkejut mendengar ucapanku sendiri.

Merly menutup buku di pangkuannya. Alisnya terangkat sebelah mendengar penuturanku. "Aku nggak tahu kamu lagi ngatain aku atau apa. Tapi kalaupun ucapan kamu benar, seenggaknya bukan cuma ada satu orang putus asa di sini."

Aku mendengkus. Gadis ini cerdas juga.

Ia kemudian membenarkan posisi duduknya dan mulai fokus padaku. "Boleh aku tanya sesuatu sama kamu?"

Ada sesuatu dari nada bicaranya yang menyerupai sebuah tantangan. Dan sialnya, aku mengansumsikannya demikian. "Oke."

"Kamu suka sepatu atau kamu ingat seseorang ketika kamu lihat sepatu?"

Aku terkejut. Sekujur tubuhku menegang. Ini pertanyaan yang sama sekali tak kusangka. Gadis itu baru kulihat selama kurang dari satu jam dan ia sudah satu langkah di depan gerbang pertahananku, siap menggedor sekaligus mendobrak.

"Kenapa nanya gitu?"

Merly terlihat sangat tenang mendengar nada suaraku yang sedikit tidak bersahabat. Ia menyandarkan punggung di sofa dengan gerakan luwes. Matanya menatapku dalam-dalam seolah ia sedang mengulitiku pelan-pelan.

"Kita sudah di sini hampir satu jam dan aku sama sekali nggak merasakan kehadiran kamu, Rex."

Aku menghela napas. Wanita ini sedang mencoba menggedor tembok proteksiku. Aku mulai goyah. Tiba-tiba saja merasa lelah.

"Biar kutebak. Ini soal gadis lain. Aku benar?"

Oh bagus. Sekarang Merly sudah menerobos masuk dan aku kalah telak. Bahkan tanpa melakukan perlawanan.

"Mau cerita? Kupikir gadis itu pasti sangat menarik sampai kamu nggak bisa melupakan dia dan jadi orang putus asa nomor dua di coffee shop ini."

Aku tak menganggapi gurauannya. Terlalu terpana pada bom yang tiba-tiba saja menghancurkanku tanpa memberiku waktu untuk mempersiapkan amunisi perlawanan. Aura gadis itu memancarkan sesuatu seperti ... ah. Aku tak tahu apa itu. Rasanya seperti kau sedang melakukan sesi terapi dengan seorang psikolog atau melakukan interaksi dengan seorang penghipnotis. Sampai akhirnya yang terlintas di otakku adalah bagaimana aku harus memulai.

Logikaku kembali memberontak. Menceritakan urusan pribadi bersama orang asing bukanlah sesuatu yang bagus untuk dipraktikkan. Tapi kali ini, bersama Merly, rasanya cerita-cerita tentang gadis itu meluap begitu saja dari hatiku. Seolah berlomba untuk keluar karena memang sudah saatnya keluar. Hingga kemudian ... "Namanya Bee."

***

SEPATUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang